III - t i g a

116 22 2
                                    

"Giselle...kau menangis?"

Cepat-cepat kuseka air mataku. Terhitung sejak pindah ke Shanghai, ini adalah kesekian kalinya aku menangisi hal-hal yang berhubungan dengan kedua orang tuaku.

"Hanya sedikit mengalami deja vu." balasku sedikit parau.

Yangyang menepuk bahuku perlahan, lalu kembali mengarahkan pandangannya ke depan. Beberapa dari mereka juga ada yang menatapku,   tapi aku langsung membuang muka. Tak nyaman saat melihat tatapan mereka lagi, bahkan dengan sengaja kututup sebagian wajah dengan sebelah tanganku.

"Ayo jalan." perintah kak Hendery, yang langsung kami lakukan tanpa banyak komentar.

Sesekali aku mengarahkan senterku kebelakang, bagian belakang juga gelap seketika saat kami melangkah ke depan. Aku merinding ketika mendengar suara geraman samar, lagi-lagi.

"Kita bagi kelompok saja, bagaimana?" usul kak Ten tiba-tiba. Aku salah satu yang setuju dengan usulnya, berbeda dengan kak Hendery. "Bagaimana kalau kita berselisih jalan jika berpencar?"

"Kita punya alat komunikasi kan, Hendery? Kurasa itu ide bagus." timpal Kak Xing Qiao.

Kak Xiaojun mengangguk-angguk."Itu akan lebih menghemat waktu yang kita punya. Lebih cepat berakhir jika seperti itu." tukasnya setuju.

Kak Hendery menghela nafas. Ia menatap anggota lainnya, mereka semua nampak setuju sepertiku.

"Kalau begitu, ayo berkumpul."

Aku mengikuti yang lain saat semuanya duduk melingkar disekitar kak Hendery, begitu pun Yangyang. Pria itu tiba-tiba menggenggam erat lenganku. Yangyang melirikku dengan lengkungan senyum tertahan."Aku akan bersamamu." bisiknya.

Aku mengangguk kecil sambil tersenyum.

"Nicholas, Yangyang, Lucas, Xing Qiao, Liu Yu, Ruiqi dan Ten, kalian pergi memeriksa generatornya."

Beberapa dari mereka langsung berdiri, kecuali Yangyang dan Liu Yu. Mereka saling melirik lalu Yangyang beralih melirikku.

Kak Hendery menaikkan sebelah alisnya menyadari kedua orang itu."Apa? Kalian keberatan?"

"Tidak." sahutku cepat. Aku segera melepaskan genggaman tangan Yangyang dari tanganku."Pergilah," aku berujar pelan dan tersenyum kecil.

"Sisanya ikut aku? Paham?" tukas kak Hendery.

"Ya!"

"Kalo begitu, kita berpecah pada persimpangan diujung lorong ini." sambar kak Xiaojun, mengarahkan senternya lurus ke depan.

"Ya, bukan masalah. Ayo jalan." tukas Sunoo, melangkah lebih dulu.

Aku menyadari jika pemuda itu tak menggunakan senternya. Aku dilema antara langsung mengejarnya, atau justru berpamitan sebentar dengan Yangyang.

Aku menggigit bibir bawahku pelan, lalu menatap Yangyang.

"Kenapa? Ayo ikuti Sunoo. Nanti dia tersesat." pemuda itu tersenyum kecil dan menarik lenganku untuk kembali bangkit.

Kami berdua melangkah mengikuti Sunoo. Dan genggaman tanganku kembali mengerat pada tangan Yangyang. Ah, aneh saat aku harus kembali berpisah jalan darinya. Beberapa minggu ini, kuhabiskan untuk melewati segalanya dengan Yangyang.

Jadi, aku hanya bisa menghela nafas panjang. Toh kami pasti akan bertemu kembali dalam beberapa hari ke depan.

"Kita akan selesaikan ini dengan cepat, lalu kembali ke Shanghai dengan membawa vaksin yang disebutkan ibumu." ujar Yangyang sembari mengusap lenganku lembut.

Aku menganggukkan kepala. Pening menerjang ku saat mulai memikirkan jawaban apa yang pas untuk perkataan Yangyang tadi.

Sama seperti yang ia bilang, aku juga maunya sesederhana itu. Tapi kurasa itu mustahil.

ne(x)t Level [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang