XXIX - d u a p u l u h s e m b i l a n

69 11 0
                                    

Giselle dan Yangyang menumpuk barang mereka dengan menahan perasaan kecewa yang besar di dalam hati. Mereka pikir, tidak ada gunanya tetap disana bersama kumpulan zombie.

"Kita pergi secepatnya?"

"Buat apa cepat-cepat?"

Giselle menghembuskan nafas pendek. Ia menyeka air mata yang masih saja menetes."Rasanya percuma. Nggak ada hal yang bisa dilakukan. Nggak ada yang bisa diperbaiki."

Gadis itu menatap lekat sebuah ransel yang berada di depannya. Giselle tidak tahu apa saja yang dia masukkan ke dalamnya sampai bentuk ransel itu terlihat seperti buntalan bantal penuh kapuk.

Tapi akhirnya, ia kembali menghela nafas. Membuat dirinya sendiri menjadi pusat perhatian Yangyang sedari tadi. Setelah beberapa detik, pemuda itu menjatuhkan pandangannya ke bawah. Menunduk dalam.

"Kenapa seperti ini ya?" gumamnya kosong.

Waktu berjalan tanpa terasa disana. Sebab tak ada yang ditunggu dari detik yang bertambah menjadi menit, semua terasa tidak membosankan. Entah memang seperti itu, atau justru, ini memang enaknya menjadi zombie.

Tidak begitu menyadari betapa lambatnya waktu berlalu. Giselle dan Yangyang hanya duduk diam setelah mengemas benda yang bahkan tak tahu apa gunanya ke dalam ransel yang mereka temukan.

Hanya saja mereka pikir, tidak masalah membawa benda-benda yang menarik perhatian dari sana.

"Tapi, bagaimana kita akan keluar dari tempat ini?" tanya Yangyang.

Menghabiskan berjam-jam untuk melamun, membuatnya menyadari satu hal penting yang mereka butuhkan untuk keluar dari pulau ini; sebuah kendaraan."Kita nggak punya apapun."

"Oh—bagus. Kita terjebak ya?" balas Giselle pahit. Gadis itu menendang kecil ransel di ujung kakinya kemudian berjalan sendirian.

Yangyang mengikutinya dengan cepat. Keduanya tak memiliki topik apapun untuk dibicarakan sehingga langkah mereka yang tak tentu akan dibawa kemana, hanya diisi dengan hening.

Sesekali terdengar zombie menggeram, juga langkah kaki yang menggema dari ruangan lain. Lalu deruan nafas mereka yang menjadi satu-satunya makhluk dengan jantung yang berfungsi normal.

"Yangyang, apa semuanya terasa baik?" Giselle menoleh, akhirnya mau membuka mulut."Aku pikir—mungkin sebaiknya kau mulai membenciku."

Sepasang matanya kembali berkaca. Yangyang tidak perlu menerka-nerka, dia tahu Giselle akan kembali menangis.

"Tidak. Kenapa harus membencimu? Semuanya baik-baik saja." jawabnya dengan nada memprotes.

"Apa perlu ada pertanyaan 'kenapa'? Jawabannya cukup jelas."

"Iya, tapi kamu yang nggak jelas. Ini bukan salahmu."

"Awalnya memang bukan, tapi sekarang, ini salahku."

Yangyang terdiam. Dia tidak mengiyakan perkataan Giselle. Yangyang sedang memikirkan jawaban untuk terus menentangnya."Kau nggak salah, Giselle."

"Tapi aku membawamu kesini. Harusnya aku pergi tanpamu, kamu mungkin akan tetap bersama dengan Ningning. Bukan malah terjebak di tempat ini, bersama denganku. Menjadi sepertiku."

Giselle kembali terisak. Kali ini, tangisannya cukup nyaring hingga menimbulkan gema yang menyamarkan geraman-geraman zombie.

Dari tangisannya, terdengar jika itu adalah air mata penyesalan. Ada banyak hal yang sangat disayangkan oleh Giselle. Dan dia akhirnya menyadari, bahwa dia sangat-sangat menyesal saat ini.

"Kau paham? Hiks—aku terlalu naif untuk menganggap semuanya akan baik-baik saja. Pikiranku yang konyol, bisa-bisanya bilang kalau apa yang terjadi tidak bisa lebih buruk dari sekedar di kejar zombie."

ne(x)t Level [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang