Larasati menatap ke arah sosok pemuda yang usianya sama persis dengan putri ketiganya, ketika ia tiba di ruang perawatan tersebut. Seorang suster mengabarkan padanya bahwa salah satu putra dari Keluarga Adriatma baru saja didaftarkan ke rumah sakit miliknya dan kini sudah ditempatkan di salah satu ruang perawatan sesuai dengan permintaan keluarga pemuda tersebut. Namun, betapa terkejutnya Larasati saat melihat kondisi pemuda itu. Arini--Ibu pemuda tersebut, yang tak lain adalah sahabat lama Larasati--menoleh dan menatap Larasati seraya menangis tersedu-sedu di samping ranjang tempat putranya terbaring. Larasati mendekat perlahan ke arah ranjang tersebut. Ketiga anak Arini yang lain memberinya jalan dan memilih menjauh dari sana beberapa langkah. Mereka sudah tahu kalau saat itu akan menjadi momen yang amat sangat penuh emosi. Karena Ibu mereka sudah jelas akan mengatakan segalanya pada Larasati, sebagai satu-satunya orang yang akan selalu bersedia mendengarkan keluh kesahnya.
Larasati masih menatap pada pemuda yang terbaring itu, sambil mencoba menerka-nerka mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Tubuh pemuda itu dipenuhi luka lebam yang mulai menghitam, seakan dia selalu dipukuli oleh seseorang selama ini. Pemuda itu sadar seutuhnya. Matanya terbuka, hanya saja tatapannya kosong dan hanya sesekali berkedip lalu kembali menatap lurus ke arah yang sesuai dengan posisi tubuhnya. Ia perlahan mendekat ke arah Arini dan meremas pundak sahabat baiknya itu dengan penuh kelembutan.
"Ada apa, Rin? Ada apa dengan Jojo? Kenapa dia bisa jadi seperti ini? Beri tahu aku Rin. Beritahu aku," mohon Larasati.
Arini pun memejamkan kedua matanya sekejap seraya terisak pelan di sisi Larasati. Sesaat kemudian, setelah ia membuka matanya kembali, ia pun memeluk Larasati dengan erat seakan mengisyaratkan bahwa dirinya sudah tak lagi mampu menahan beban dari kesakitan yang dirasakannya selama lima tahun terakhir.
"Ada yang menyakiti Jojo, Ra. Ada yang menyakiti Jojo," jawab Arini, tergugu.
"Siapa Rin? Siapa yang menyakiti Jojo?" tanya Larasati sekali lagi.
Arini hanya bisa menggelengkan kepalanya tanpa bisa memberi jawaban atas pertanyaan itu. Larasati pun jelas tak bisa--lebih tepatnya tak pernah bisa--memaksa Arini untuk menjawab. Sejak dulu, Larasati memang selalu tak bisa memaksa Arini karena teramat sangat menyayanginya. Bagi Larasati, Arini sudah seperti Adiknya sendiri yang tak bisa ia sakiti atau sekedar memaksanya melakukan sesuatu yang Arini tak mau. Ia selalu mengalah untuk Arini dan hal itulah yang membuat Arini merasa sangat nyaman jika sudah berada di sisi Larasati.
"Sudah berapa lama ini terjadi pada Jojo, Rin?"
"Sudah hampir tujuh bulan, Ra," jawab Arini--kini sambil menatap ke arah sahabatnya.
"Lalu kenapa kamu baru membawanya ke sini sekarang? Kenapa bukan sejak awal kamu bawa Jojo ke sini? Apa kata Dokter sebelumnya yang menangani Jojo?" Larasati benar-benar ingin tahu lebih jauh sebelum ia memeriksa sendiri keadaan Jojo.
Ketiga anak Arini yang lain hanya menatap Ibu mereka dan juga Larasati dalam diam. Mereka tak berani bersuara dan bahkan tak berani bergerak sama sekali dari tempat mereka berdiri saat itu.
"Do--dokter sebelumnya yang merawat Jojo mengatakan kalau dia mengalami trauma yang sangat berat, Ra. Entah apa alasannya, tapi sampai saat ini kami sekeluarga masih belum tahu mengapa Jojo akhirnya bisa jadi seperti ini. Kami belum tahu siapa orang yang melakukan ini padanya dan bahkan Polisi juga merasa kebingungan dengan apa yang menimpa Jojo saat ini," jelas Arini.
"Astaghfirullah, Rin. Lalu kenapa baru sekarang kamu ke sini? Apa kamu masih merasa bersalah atas apa yang Almarhum Suamimu katakan pada Putriku lima tahun yang lalu, sehingga kamu memilih memendam semuanya sendiri selama tujuh bulan belakangan? Benar begitu?" tebak Larasati.
Arini pun kini menganggukkan kepalanya sambil kembali tergugu seperti tadi.
"Ya Allah, Rin. Berapa kali aku harus mengatakan padamu bahwa aku dan keluargaku tidak pernah dendam sama sekali atas apa yang Almarhum Suamimu katakan lima tahun lalu pada Putriku. Putriku sendiri juga tidak mempermasalahkannya sama sekali. Kami sudah memaafkannya dan menganggap dia khilaf pada saat itu hingga mengucapkan kata-kata yang tidak pantas," jelas Larasati.
"Tapi aku merasa malu padamu dan juga Putrimu, Ra. Aku merasa malu karena kalian begitu pemaaf dan Almarhum Suamiku yang justru tidak tahu diri. Jujur saja Ra, saat ini aku mencoba menebalkan wajahku di hadapanmu demi Jojo. Aku merasa sudah tidak punya harga diri di hadapanmu setelah apa yang ...."
"Cukup, Rin," potong Larasati, "... cukup. Jangan diteruskan. Jangan membahas harga diri di depanku. Kamu itu segalanya untukku, Rin. Kamu satu-satunya yang tersisa dari sejarah kelam kehidupanku. Aku bisa berdiri setegak ini di hadapan semua orang karena dorongan darimu. Tanpa kamu di masa lalu, aku tidak akan pernah menjadi Larasati yang tengah kamu tatap saat ini. Mari kita sama-sama melupakan semua hal pahit itu. Mari kita hadapi sama-sama segalanya seperti dulu lagi. Demi Jojo dan demi anak-anakmu yang lain."
Ketiga anak Arini yang lain pun kini kembali menatap ke arah Larasati dengan tatapan tidak percaya. Sosok wanita paruh baya itu benar-benar seperti yang selalu digambarkan oleh Ibu mereka selama ini, sangat baik hati dan tidak pernah menaruh dendam meski sudah disakiti. Hal itu benar-benar terbukti dan mereka saksikan sendiri sekarang, di mana Larasati justru merangkul Ibu mereka kembali setelah dulu salah satu putrinya pernah menerima perlakuan buruk dari Almarhum Ayah mereka.
"Sudah, berhentilah menangis. Sekarang kamu harus menenangkan dirimu lebih dulu, agar anak-anakmu yang lain tidak terabaikan. Mereka juga butuh kamu saat ini. Biarkan Jojo aku yang awasi, aku akan periksa Jojo dan memanggil Putriku yang nomor lima untuk membantu pemeriksaannya," ujar Larasati memberi saran pada Arini.
Arini pun mengangguk dan paham dengan apa yang Larasati katakan saat itu. Benar, anak-anaknya yang lain juga membutuhkan perhatiannya agar tak merasa terabaikan. Namun saat Larasati hendak beranjak dari hadapannya, ia segera menahan tangan sahabatnya tersebut hingga membuat Larasati kembali berbalik dan menatapnya.
"Ada apa, Rin? Masih ada yang ingin kamu sampaikan mengenai kondisi Jojo padaku?" tanya Larasati, tetap selembut tadi.
Arini pun menggeleng.
"A--aku ... ha--hanya ingin ... bertanya satu hal sama kamu, Ra," ujar Arini agak terbata-bata.
"Tanyalah, Rin. Apa yang ingin kamu tanyakan padaku itu?" Larasati memberikan kesempatan untuk Arini.
"A--apakah ... apakah kamu juga akan memanggil dia ke sini?" tanya Arini, memberanikan diri.
Ketiga anak Arini yang lain pun serempak menatap ke arah Ibu mereka usai mendengar pertanyaan yang terlontar untuk Larasati. Mereka takut kalau hal itu akan membuat Larasati marah atau sekedar ingat akan apa yang pernah dilakukan oleh Almarhum Ayah mereka lima tahun lalu. Namun mereka salah, Larasati justru tersenyum sambil mengusap-usap pundak Arini dengan lembut.
"Tentu saja. Yvanna 'kan sahabatnya Jojo, jadi mana mungkin aku tidak memanggilnya ke sini. Dia akan marah besar kalau tahu aku menyembunyikan keadaan sahabatnya. Kamu tahu persis bagaimana Yvanna, Rin. Dia masih sekeras dulu," jawabnya dengan tenang.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
TUMBAL MUSUH
Horror[COMPLETED] Seri Cerita TUMBAL Bagian 1 Perjalanan tentang seorang wanita dalam mengatasi masalah yang tiba-tiba saja datang pada dua orang sahabatnya, yang membuat seluruh kehidupan wanita tersebut kini tertuju hanya pada sahabatnya tersebut. Satu...