Ponsel berdering di atas meja kerja Yvanna, tepat saat wanita itu tengah membereskan laptop dan buku catatannya ke dalam ransel. Ia melirik ke arah layar ponselnya dan bergegas mengangkat telepon itu ketika melihat nama penelepon.
"Halo, Bu. Assalamu'alaikum," sapa Yvanna.
"Wa'alaikumsalam. Kamu sudah selesai kerja, Sayang? Apakah kamu bisa pulang sekarang dan langsung ke rumah sakit?" balas Larasati tanpa berbasa-basi.
Yvanna mengernyitkan keningnya selama beberapa saat setelah mendengar apa yang Ibunya tanyakan saat itu.
"Tumben Ibu meminta aku datang ke rumah sakit setelah bekerja. Ada apa, Bu? Ada yang sakit atau ada masalah?" tanya Yvanna.
"Pokoknya kamu datang dulu ke rumah sakit. Nanti Ibu ceritakan padamu semuanya," jawab Larasati tanpa menjawab pertanyaan yang sesungguhnya.
"Enggak, Bu. Aku enggak akan ke rumah sakit jika Ibu tidak mengatakannya sekarang juga. Ibu tahu sendiri 'kan, kalau aku tidak suka dibuat penasaran mengenai suatu hal. Sebaiknya Ibu katakan langsung sekarang atau aku tidak akan ke rumah sakit dan akan langsung pulang ke rumah seperti biasanya," tegas Yvanna.
Larasati pun menghela nafasnya sejenak. Ia tahu betul bahwa Yvanna akan melaksanakan apa yang dikatakannya barusan, jika ia tidak memberitahu yang sebenarnya. Yvanna memang memiliki sifat yang paling keras dari enam orang anaknya. Jika sudah mengatakan A, maka hal itu takkan pernah berubah meski banyak yang mempengaruhinya. Larasati jelas mengenali sifat itu sejak Yvanna masih kecil dan ia tidak keberatan dengan hal tersebut. Karena baginya, itu menandakan bahwa Yvanna bukanlah orang yang mudah goyah dengan godaan apa pun di dalam hidupnya.
"Duh, kamu itu selalu saja tidak mau penasaran meski hanya sebentar," ujar Larasati.
Yvanna--di seberang telepon--tersenyum santai usai mendengar apa yang dikatakan oleh Ibunya. Itu jelas bukan pertama kalinya Larasati mengatakan hal tersebut kepada Yvanna. Larasati sudah sangat sering mengatakan hal yang sama mengenai salah satu sifat alaminya. Ia benar-benar tidak suka jika harus merasa penasaran terhadap suatu hal, sehingga ia sering sekali memaksa lawan bicaranya untuk mengatakan segalanya secara terbuka tanpa ada yang harus ditutup-tutupi.
"Penasaran akan sesuatu hal itu enggak enak, Bu. Aku enggak suka. Makanya aku minta pada Ibu untuk langsung saja mengatakan yang sebenarnya," balas Yvanna.
"Hm ... baiklah akan Ibu katakan. Tapi janji ya, kamu jangan mendadak emosional ataupun marah. Ini demi kebaikan seseorang yang selalu ingin kamu lindungi," mohon Larasati.
Yvanna yang baru saja akan keluar dari ruangannya mendadak berhenti dan tak jadi membuka pintu. Ia kembali mengerenyitkan keningnya seperti tadi.
"Maksud Ibu, yang mau Ibu bicarakan ini tentang Jojo?" tebak Yvanna.
"Sudah Ibu duga kalau kamu akan langsung bisa menebaknya. Iya, betul sekali Sayang. Ini tentang Jojo. Jojo ada di rumah sakit ini sekarang. Dia ... kondisinya ... sangat tidak bisa Ibu jelaskan melalui telepon. Intinya saat ini menurut hasil pemeriksaan, Jojo sedang mengalami trauma yang cukup berat dan dalam, Sayang. Ibu dan Lili sudah memeriksanya tadi. Kesimpulan kami berdua memang sama persis seperti Dokter sebelumnya yang menangani kondisi Jojo sejak tujuh bulan lalu. Tapi anehnya, di tubuh Jojo ada banyak sekali luka lebam yang menghitam. Kata Ibunya Jojo, luka itu selalu muncul tanpa alasan. Ayahmu juga ada di sini sekarang setelah Ibu memberitahunya mengenai Jojo. Tapi Ayahmu juga tidak bisa berbuat apa-apa atas kondisi Jojo yang begitu parah. Tapi kalau firasat Ibu sendiri, saat ini Jojo bukan butuh pengobatan untuk dirinya. Jojo mungkin membutuhkan tempat untuk bersandar, seperti yang dulu dia pernah dia dapatkan ketika masih sering bersama-sama dengan kamu. Jadi ...."
"Aku akan ke rumah sakit sekarang, Bu," potong Yvanna. "Aku akan temui Ibu di sana dan juga menemui Jojo setelah melihat hasil pemeriksaannya. Tapi aku enggak tahu mana duluan yang akan kulakukan. Entah menemui Ibu duluan atau menemui Jojo."
"Mm ... lakukan saja yang menurutmu lebih utama, Sayang. Jika menemui Jojo adalah yang pertama akan kamu lakukan, Ibu jelas takkan menghalangimu," balas Larasati, seraya tersenyum jauh lebih lega daripada sebelumnya.
Dan saat akhirnya sambungan telepon itu terputus, Larasati merasa beban pikirannya sedikit lebih berkurang. Sementara itu di ruang perawatan tempat Jojo berada--bersama Arini, kedua Kakak, dan juga Adik bungsunya--keadaan terasa sangat hening serta dingin. Semua terpaku pada Jojo dan keadaannya yang terlihat begitu sengsara.
"Menurut kalian, apakah Yvanna akan datang ke sini untuk Jojo?" tanya Nania--anak tertua Keluarga Adriatma--kepada Adik-adiknya.
Arini mendengar pertanyaan itu namun memilih diam saja.
"Dia pasti datang," jawab Naya--anak bungsu Keluarga Adriatma. "Suami Bibi Larasati saja datang ke sini untuk melihat keadaan Kak Jojo, jadi mana mungkin Kak Yvanna tidak datang. Dia sudah menganggap Kak Jojo seperti Adiknya sendiri setelah bersahabat dengannya selama lima belas tahun. Jadi, mana mungkin seorang Kakak akan mengabaikan Adiknya jika mendengar kabar yang buruk."
"Ya, seharusnya memang begitu. Tapi ingatlah Nay, lima tahun yang lalu Ayah kita telah menyakiti Yvanna dengan kata-kata kasarnya. Jadi, ada kemungkinan kalau kali ini Yvanna tidak akan datang meskipun terjadi sesuatu pada Jojo," ujar Ben--anak kedua Keluarga Adriatma.
"Ben, bisa enggak sih kamu berhenti berpikiran buruk tentang Yvanna?" tegur Nania. "Kamu pikir Almarhum Ayah berkata kasar pada Yvanna itu karena siapa? Semua itu terjadi karena kamu, Ben! Karena kamu! Kamu yang memulai semua kekacauan itu lima tahun lalu dan kamu juga yang akhirnya menyerah dengan keadaan yang kamu paksakan sejak awal. Andai kamu tidak memaksakan kehendakmu saat itu dan patuh pada apa yang Ibu katakan, maka semua bencana ini tidak akan terjadi. Ayah tidak akan meninggal secepat itu, Jojo tidak akan tersiksa seperti ini, dan hubungan keluarga kita dengan Keluarga Harmoko tidak akan secanggung sekarang! Jadi tolong Ben, berhenti berpikiran buruk tentang Yvanna!"
"Sudah, jangan bertengkar," titah Arini, pelan.
Semua kembali menjadi hening seperti tadi. Mereka tak lagi membicarakan apa pun dan memilih diam. Suara ketukan pada pintu yang memang terbuka lebar sejak tadi membuat tatapan mereka kini terarah pada pintu tersebut. Sosok Yvanna telah berdiri di sana sambil tersenyum ke arah Jojo yang saat itu masih saja menatap kosong, meski posisinya kini telah berubah sesuai dengan ranjang yang ditempatinya. Yvanna berjalan santai seperti biasanya yang telah dikenali oleh seluruh anggota Keluarga Adriatma. Wanita itu menunjukkan satu kotak donat kesukaan Jojo ketika akhirnya tiba di sisi ranjang yang Jojo tempati.
"Assalamu'alaikum. Hai Jo, aku bawa donat rasa strawberi seperti biasanya. Kamu mau makan? Mau kusuapi?" tawar Yvanna.
Wanita itu benar-benar memperlakukan Jojo seakan tak terjadi apa-apa sama sekali. Seakan dia tidak melihat kesengsaraan apa pun pada diri Jojo. Arini menahan air matanya dan bersiap mengatakan pada Yvanna kalau Jojo takkan merespon seperti dulu. Namun, Arini akhirnya tertahan oleh kenyataan yang tengah berputar di hadapannya secara nyata.
"Wa'alaikumsalam. Iya, aku mau disuapi," jawab Jojo, yang tiba-tiba saja tidak lagi menatap kosong tanpa arah.
Tatapan Jojo kini terarah tepat pada Yvanna dan wanita itu pun segera membuka kotak donat yang dipegangnya untuk menyajikan donat kesukaan sahabatnya tersebut. Nania, Ben, dan Naya pun terduduk lemas di tempat masing-masing usai melihat segalanya.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
TUMBAL MUSUH
Terror[COMPLETED] Seri Cerita TUMBAL Bagian 1 Perjalanan tentang seorang wanita dalam mengatasi masalah yang tiba-tiba saja datang pada dua orang sahabatnya, yang membuat seluruh kehidupan wanita tersebut kini tertuju hanya pada sahabatnya tersebut. Satu...