Aku bangkit, mengambil tisu untuk membersihkan sisa cairan milik mas Haris yang ada diatas perutku. Dia hanya berbaring dan tersenyum sambil memperhatikan aku.
"Ngapain sih, mas? Pulang sana!"
"Mau tidur sini aja lah, peluk kamu" dia tersenyum lagi. Heran juga perasaan dia kalo minum kopi pahit, kenapa senyum-senyum terus sih. Oke nggak nyambung sama sekali Elena.
"Gak mau, pulang sanaaaa!"
"Kok gitu, tadi kamu seneng-seneng aja tuh aku bikin enak?" dia tersenyum lagi. Lama-lama aku lakban juga mulutnya.
"Ya udah sampe situ aja, setelah ini anggep aja nggak terjadi apa-apa" jawabku acuh.
Dia bangkit lalu menghampiriku, kemudian memelukku dari belakang"Ya nggak bisa gitu, kamu harus tanggung jawab Len" suaranya tepat di telingaku, hembusan nafasknya membuatku kembali meremang, tangannya yang melingkar di perutku juga membuatku merasakan sesuatu yang aneh.
"Tanggung jawab apa sih, nggak usah lebay ya mas, urusan kita cuma sampe disini aja, oke saya salah, dengan gampangnya terima sentuhan-sentuhan mas Haris, tapi cukup sampe disitu, saya nggak mau ada urusan lagi sama mas Haris, titik."
Mas Haris tak tinggal diam, dia menciumi leherku, aku refleks mendongak, mas Haris semakin liar, lidahnya dia gerakkan di leherku, menggigit kecil, aku menolak.
"Jangan dibikin merah mas!"
"Biarin, punyaku kok"
Aku menghembuskan napas keras, dia bener-bener susah diajak ngomong baik-baik.
"Len, bobo aja yok, apa mau lagi kayak tadi?"
Aku melepaskan pelukannya, bergegas keluar kamar, menuju dapur, aku lapar dari siang belum makan, tapi dia seenaknya nyuruh tidur, lagian siapa juga yang bolehin dia tidur disini, kepedean amat.
Aku memasak nasi di magic com, kemudian membuka lemari pendingin, mengambil sosis, telur dan daun bawang, aku mau bikin telur dadar campur sosis, dan yang penasaran dimana mas Haris berada, dia sedang rebahan di sofa depan televisi dengan ponsel berada ditangannya, mungkin lagi kirim pesan ke istrinya, cih dasar pria nggak tau diri.
Setelah telur dadar matang, aku mau bikin teh lemon, sembari menunggu nasi matang, kulihat mas Haris mendekat, Ia duduk di bangku yang ada didapurku,
"Hmmmm.. Ini baru bau rumah, pulang kerja di sambut wanita cantik, dimasakin, terus abis ini mandi, tiduran sambil peluk kamu sampe pagi, nikmatnyaa hidup" mas Haris menatapku sambil tersenyum.
Sumpah dia tuh kenapa sih, nggak jelas banget tau nggak sih, kepedean banget gitu lho, ngomong kayak tadi.
Aku menatapnya, menghembuskan napas kasar, percuma juga aku ngomong, dia nggak bakal dengerin, buang-buang tenaga.Lalu dia mendekat padaku, memelukku dari belakang.
"Len... Kok diem aja sih? Kamu tuh wangi banget, padahal udah aku uwel-uwel dari tadi" dia tertawa lagi.
"Mau mas Haris apa sih sebenernya?"
"Maunya kamu Len." dia menjatuhkan kepalanya di bahuku, tangannya masih memeluk perutku.
"Okay, atas dasar apa mas Haris ngomong begitu? Maksudnya gini, mas, kan mas Haris udah punya istri, kenapa dengan gamblangnya bilang suka sama saya, saya tuh kayak murahan banget nggak sih? Udah tau mas Haris punya istri, tapi nerima kamu disini, ngelakuin hal nggak bener, tapi menikmati, sekarang mas Haris mendingan pulang deh, dari pada ntar semakin rumit." aku berbicara tanoa jeda, dia malah menciumi leherku,mengusap-usap hidungnya dileherku.
"Emmmhhhhhhhhh" aku mendesah.
Dia berhenti, lalu diam."Len.. Nggak cukup ya alasanku disini karena aku suka kamu? Sayang sama kamu? Mau sama kemu terus? Ini tuh aku udah bayangin ini dari lama, masa udah kecapai kamu suruh pergi dan satu lagi, jangan sebut diri kamu murahan, kamu berharga, sangat berharga buat aku" dia cemberut, ya Tuhan dia ini kenapa.
Aku diam, mencerna yang dia katakan, namun ku lihat nasi ku sudah matang, tanpa melepaskan pelukannya, aku berjalan mengambil dua piring, lalu mengambil nasi, untuknya juga, biar sebel aku nggak tega juga biarin orang ini kelaperan.
"Segini cukup?"
"Dikit lagi"
Aku menambahkannya lagi, kemudian mengambil abon yang ku simpan dalam lemari."Abon, mau?"
Dia mengangguk, kemudian mencium pipiku.
Aku menoleh, menyipitkan mata kearahnya "Maaaas"
"Abis baunya enak banget kamu tuh, aku nggak tahan kalo nggak cium-cium"
Dia tersenyum jahil."Makan dulu, nih" aku berjalan ke meja makan dapurku, mengambil telur dadar yang tadi kubuat, lalu mengambilkan dia air minum.
"Kamu nggak makan? Kok telornya buat aku semua?"
"Pake abon aja lah, cukup ini"
"Nggak, ini bagi dua aja telornya" dia meletakkan telor nya dipiringku, kami mulai makan dalam diam, setelah selesai, aku mengambil piringnya juga untuk ku cuci.
"Ngerokok boleh ya, Len?"
Aku menoleh, lalu mengangguk, ku tengok dia sudah berjalan ke arah balkon, luar biasa udah kayak rumah dia sendiri aja.
Setelah selesai, aku duduk di sofa depan televisi, menyalakan televisi, pikiranku mulai kacau, membayangkan kejadian tadi, aku rasa ini tak benar, tapi sebagian hatiku juga merasakan kenyamanan ada dideket maas Haris, jujur saat pertama aku lihat dia di cafe bandara satu tahun lalu, aku langsung menyukainya, melihat dia berinteraksi dengan orang lain, tertawa, lalu berubah serius, kemudian tertawa lagi, membuat hatiku menghangat,saat itu aku berharap melihat wajahnya setiap aku bangun tidur, berkeliaran di rumahku, bercanda denganku, dan sialan, kenapa ini semua terjadi. Aku mengerang frustasi.
"Mikir apa sih, yang? Itu acaranya lucu kamu malah diem gitu" tanyanya yang tiba-tiba sudah duduk di sebelahku, tangannya mengusap punggungku.
Kuberanikan diri menatapnya.
"Mas?"
"Iya?"
"Kamu pulang sekarang deh!"
Dia diam, lalu menatapku tajam.
"Nggak mau!" dia merebahkan tubuhnya disandaran sofa lalu menutup matanya.
Baiklah, dia yang menolak, jangan salahkan aku nantinya jika akubtak bisa menahan semua hasratku yang ku simpan selama ini untuknya.
"Okay, kamu yang nggak mau ya mas, jangan salahin aku nantinya"
"He'em sepenuhnya jadi urusanku" dia masih menutup matanya, aku mendekat lalu mencium bibirnya, dia terkejut, tapi dalam ciuman kami, aku tau dia tersenyum, lalu tangannya memeluk pinggangku.
Aku melepas ciuman kami, dia menatapku sambil tersenyum.
"Boleh, Len? Aku bobok sini ya? Apa aku pindahin semua barangku kesini aja Len? Nanti kita berangkat bareng kalo jadwalnya sama? Apa kamu yang pindah ke apartemenku aja? Apa mau cari apartemen lain? Len, kamu serius kan? Aku seneng banget nih"
dia menanyakan semuanya sambil menatapku tersenyum, dia ini kebanyakan senyum, aku makin bloon liatnya.
"Sini aja lah mas, aku mageran kok orangnya, nggak suka pindah-pindah"
Aku bangkit untuk minum
"Eh, mau kemana? Sini aja masih mau peluk"
"Haus mas, mau minum, kamu mau juga?"
Dia tak menjawab, tapi langsung bangkit berjalan ke arahku,
"Mauuu"
Aku memberinya segelas air, dia meminumnya,
"Yuk tidur yang? Udah capek banget aslinya"
"Yaudah sana tidur, di sofa kan tapi? Nanti aku ambilin selimut sama bantal"
Dia menatapku tajam, lalu membopongku, membawaku kedalam kamar, mengunci pintu, lalu merbahkan tubuhku di atas ranjang, dia merebahkan tubuhnya juga disampingku, mengecup bibirku lalu memelukku. Aku diam saja menerima perlakuannya.
"Janji yang cuma peluk, sebenernya ya nggak tahan kalo deket kamu gini, tapi capek banget, ntar kalo bangun nggak janji bisa tahan." dia sudah menutup matanya tapi mulutnya masih terus berbicara.
"Ya..yaa...yaa... Katanya capek, tapi ngomomg terus" dia tersenyum, lalu mekin erat memelukku.
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerita 21+
RomanceCerita dewasa, yg masih bocil dilarang mampir. Peringkat 1 #Affairs pada 19 Mei 2022