[2] soal pernikahan

70.2K 4.3K 44
                                    

Pagi ini dengan cuaca sejuk dan juga langit yang sedikit mendukung rupanya mendukung suasana hati Amara yang sedang bersedia. Bagaimana tidak, semalam setelah menghubungi papi dan papinya yang berlagak seperti orang yang tak mengenalnya dan juga mengucapkan kalau anaknya cuma satu orang. Terus dirinya ini apa?

Dari semalam air mata terus-terusan mengalir, tak hanya membasahi pipi tapi juga bantal. Dirinya berhenti menangis saat benar-benar terlelap.

Berdiri didepan cermin menatap pantulan yang cukup mengerikan. Rambut yang semalam masih bagus kini berubah menjadi acak-acakan, mata memerah dan juga agak sembab, hidung memerah.

Terlebih dahulu Amara memutuskan untuk mandi terlebih dahulu. Pagi ini tak ada lagi suara maminya yang selalu membangunkannya dikala dirinya bangun kesiangan. Tak ada lagi adu bacot dengan adiknya tiap pagi, tak ada lagi orang yang selalu membandingkan dirinya dengan sang adik.

Selesai mandi dia langsung pakaian sederhana karena memang dia tak kemana-mana hanya duduk dirumah temani bundanya. Kaos putih dipadu dengan celana jeans pendek tak sampai lutut, rambut yang diikat asal.

"Pagi bunda, ayah" Sapa Amara. Dia mulai akrab dengan panggilan itu dan juga membiasakan dirinya untuk beradaptasi dengan lingkungan sekitar.

"Pagi honey, gimana tidurnya, nyenyak?"

Mengangguk pelan "nyenyak ayah," Ucapnya berbohong. Padahal dari semalam dirinya menangis.

"Yasudah duduk, bunda masakin nasi goreng, perkedel, sama ayam goreng bumbu" Amara mendudukkan dirinya disalah satu bangku didepan Raden.

Biasanya kalau di keluarganya dulu sangat jarang sarapan dengan nasi. Palingan roti, roti bakar, sandwich, karena kalau Refan itu nggak terlalu suka makan nasi kalau pagi, kalau papi biasanya makan roti sambil ngopi, nah kalau mami itu beda sama yang lain, kalau pagi sukanya kadang makan pancake, atau cuma ngeteh doang.

"Kamu mau apa, biar bunda ambilin?"

"Aku mau semuanya deh Bun, soalnya lagi laper banget" Tunjuk Amara pada semua piring yang berisi makanan yang Geladis sebutkan tadi.

Galadis hanya terkekeh melihat tingkah putrinya. Bagaimana mungkin nafsu makan anaknya bisa bertambah seperti ini. Biasanya anaknya jika makan maka akan pilih-pilih.

"Nih dimakan, semoga kamu suka, kalau kamu suka nanti bunda masakin yang lain lagi" Geladis menaruh nasi yang sudah lengkap dengan lauk pauknya didepan Amara.

"Makasih Bunda"

"Sama-sama sayang"

Ketiganya kembali melanjutkan ke gua makan-makan yang sesekali diselingi dengan pertanyaan dari Amara dan juga Raden.

Setelah menyelesaikan acara makan mereka kini tengah berkumpul diruang keluarga. Terlihat Amara dan juga Geladis yang tengah duduk sambil menonton televisi. Sedangkan Raden sudah berangkat kekantor karena ada meeting pagi.

"Sayang, Bunda dapat kabar kalau acara pernikahan kamu bakal diundur sampai kamu bener-bener pulih. Mungkin sekitar dua minggu di undurnya"

Amara menoleh cepat kearah Bundanya saat mendengar kata pernikahan. Apa, dirinya akan menikah? Yang bener saja, umurnya saat berada di tubuh asli baru mau menginjak tujuh belas tahun.

"Amara mau nikah Bunda?" Tanya Amara seraya menunjuk dirinya sendiri.

"Iya, kamu lupa?"

Mendegar pertanyaan dari bundanya membuat Amara menggaruk tengkuknya yang tak gatal "gimana ya bun, Amara agak sedikit lupa soal itu. Boleh Bunda jelaskan sedikit untuk Amara bisa faham" Pintanya.

Istri Mas Duda  [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang