Seakan bumi tau kesedihan yang tengah dirasakan oleh sejumlah orang yang kini berada didepan sebuah gundukan tanah yang masih basah, ditambah taburan bunga yang masih segar. Langit yang memang sudah sedari tadi pagi tak menampakkan sedikitpun cahaya matahari begitu mengambarkan bagaimana keadaan hati seorang laki-laki yang berjongkok didepan makam istrinya yang meninggal semalam.
Tak ada kata maupun suara yang terdengar disana, seakan semua membisu membiarkan laki-laki itu dengan dunianya. Satu persatu orang yang tadinya mendampingi mereka perlahan pergi, hingga meninggalkan beberapa orang lagi.
"Saya langsung pulang ya," Ucap Geladis yang sebenarnya masih syok karena mengetahui kematian sang anak yang begitu tragis. Padahal semalam dia baru saja melihat senyum manis dari anaknya itu, tapi mengapa bersamaan dengan dirinya yang sudah pulang disaat itu pula berita tentang kematian Amara menyebar.
Raden menggenggam tangan istrinya menuntun untuk menjauh dari gundukan tanah itu, dirinya juga sama masih tak percaya akan apa yang terjadi pada anak semata wayangnya.
Kepergian kedua orang tua Amara diikuti oleh kedua orang tua Arkan yang ingin memberi ruang kepada ayah dan anak itu yang sama-sama terlihat tak baik-baik saja.
Tinggallah Arkan dan Anta disana berjongkok bersebelahan, Anta memandang lekat papan yang bertulisan nama sang mama yang kini sudah tak ada. Padahal dirinya belum mencoba untuk membahagiakan orang tersebut.
"Papa" Lirih Anta menoleh kearah Arkan dengan mata sembab karena menangis membuat Arkan harus menatap anaknya itu.
"Kenapa mama pergi? Kita jahat ya Pa? sampai mama harus pergi ninggalin kita?" Tanya Anta dengan wajah polosnya membuat Arkan tak dapat berkata-kata. Hatinya sakit, benar kata Anta. Mungkin dirinya dulu terlalu jahat dengan Amara, mengabaikan gadis itu tapi disaat gadis itu sudah pergi dirinya merasa tak rela. Karena nama Amara sudah mengisi sebagian hatinya atau malah sepenuhnya.
Arkan memaksakan senyum di bibirnya "Anta, dengerin Papa ya. Mungkin kita sempat buat Mama Amara marah atau kecewa, tapi yang jelas Mama Amara sayang... Banget sama kita" Ucap Arkan parau, seakan suara tercekat ditenggorokan.
"Sekarang Mama Amara udah bahagia disana, nggak ada lagi yang bikin Mama Amara marah atau kecewa" Tambahnya.
"Berarti Mama Amara udah bahagia ya, bareng Mama Syella? Pasti sekarang Mama Amara udah ketemu sama Mama Syella 'kan?"
"Anta kangen Mama Syella sama Mama Amara" Lirih Anta memeluk tubuh bagian samping Arkan. Isak tangis perlahan terdengar, padahal baru tadi subuh Anta berhenti nangis karena dibujuk.
Arkan memeluk tubuh Anta membawanya masuk dalam dekapan hangat miliknya. Dirinya juga sama seperti Anta, merindukan dua orang itu, tapi apa mungkin dia harus menangis dan menampakkan kesedihan itu di depan Anta-anaknya.
"Shuuut, Anta nggak boleh nangis. Kalau Anta nangis Mama Amara bakal ikutan nangis juga karena liat Anta" Kata Arkan menenangkan Anta agar tak semakin menangis.
"Kita pulang aja ya"
Masih dengan wajah penuh dengan air mata Anta mengangguk. Tapi sebelum itu dia turun dari pangkuan Arkan dan menuju papan nama milik Amara lalu mengecupnya pelan.
"Mama, Anta pulang dulu ya. Nanti Anta datang lagi bawa bunga yang banyak buat Mama. Anta janji nggak akan pernah nakal dan bakal dengerin semua ucapan Papa, karena Anta nggak mau bikin Mama marah atau kecewa sama Anta, dadah Mama~" Anta melambaikan tangannya kearah gundukan tanah itu.
"Saya pulang dulu ya, nanti saya datang lagi bersama Anta"
Kedua orang itu langsung pergi meninggalkan area pemakaman yang memang tak terlihat satu orang pun disana. Mobil yang ditumpangi kedua orang itu melesat pergi menuju jalanan dan pulang kerumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Istri Mas Duda [End]
Fantasy"Gue dimana sih? Kamar siapa lagi ini? Kalau kamar gue bukan kayak gini" "Ini lagi pada kenapa sama tubuh gue, mana nyeri lagi, kepala gue juga pening banget" "Apa gue diculik sugar daddy ya?" Kemudian menggeleng kuat "berharap banget gue diculik s...