HARI PUTUSAN

161 14 0
                                    

HARI PUTUSAN

Hari hari berlalu begitu berat dengan kenangan berdarah hari itu terukir pahit dalam sejarah kerajaan Padjajaran. Perang saudara yang merenggut nyawa puluhan punggawa dan sanak saudara.

Satu minggu setelah hari itu, Prabu menurunkan titah pembebasan dan pembersihan nama baik sahabatnya dari cap penghianat. Juga kehormatan istrinya sebagai ratu Padjajaran dipulihkan.

"Maafkan aku..." ucapnya penuh dengan rasa penyesalan.

Aku berlutut dihadapannya sebagai tanda penyerahan diriku dan juga kesetiaanku. Kutundukan kepalaku dihadapannya sebagai bentuk pengabdianku padanya yang kulayani hari ini hingga akhir hayatku.

"Hamba bersalah dimasa lalu Gusti Prabu. Hamba berjanji menyerahkan seluruh jiwa raga hamba untuk melindungi kehormatan Padjajaran sampai akhir hayat hamba." sumpahku tegas dan jujur sebagai seorang kesatria.

"Bangunlah! Kau adalah pedang Padjajaran dan sahabat terbaikku." Prabu mengangkat lenganku mengajakku berdiri lalu memelukku.

Aku senang karena ia mau memaafkan kesalahan dan kebodohanku. Juga dengan hati yang berlapang ia kembali menerimaku sebagai sahabat dan tangan kanannya. Sungguh, aku bersumpah demi kebahagiaannya dan juga keluarganya, aku akan mempertaruhkan segala yang kumiliki untuknya.

"Gusti Ratu Nyimas Subang Larang dan Gusti Ratu Nyimas Kentring Manik memasuki ruangan."

Begitu pengumuman itu dinyaringkan, aku menyingkir. Kedua ratu memasuki aula dengan keanggunan. Keduanya berjalan berdampingan menuju singgasanah di sisi Prabu.

Ia pasti masih terkejut dengan kejadian kemarin. Darahku pun mendidih mengingat apa yang terjadi waktu itu. Walau ia sedang dihukum di dalam kamarnya, ia tetap masih seorang ratu yang agung yang pantas dihormati.

Meskipun tak setetes pun darah seorang bangsawan mengalir dalam nadinya, tak sepantasnya Ia diperlakukan dengan sehina itu. Ia pasti masih ketakutan.

".... Raden Walangsungsang, Nyimas Rara Santang, Raden Kian Santang dan Raden Sura Wisesa memasuki ruangan!" pengumuman itu membuyarkan lamunanku.

Putra mahkota memimpin adik adiknya dengan penuh kewibawaan. Kuakui ia pantas menjadi seorang raja. Kebijaksanaan seorang raja sudah tertanam dalam dirinya. Bahkan ia mengampuni orang yang telah terbukti membunuh istri dan calon anaknya.

"Ayahanda, mohon hentikan semua penyiksaan tak berkemanusiaan itu!" usul Raden Walangsungsang pada Ayahnya saat itu. Wajahnya basah oleh air mata. Aku masih ingat bagaimana raut sedihnya saat berlutut dihadapan ayahnya.

"Dia wanita yang telah membunuh istri dan calon anakmu, Raden." balas Prabu menjelaskan pada putranya.

"Hamba tahu Ayahanda Prabu. Walau bagaimana pun mereka masihlah manusia. Tolong jangan siksa mereka seperti ini. Jika harus dihukum, hukumlah dengan tidak menyiksanya." pinta Raden gemetar.

Jika saja kemarin kami tidak memenangkan pemberontakan itu, mungkin kini kami yang akan disiksa.

Para tahanan tentu saja diperlakukan layaknya seorang tahanan. Tak ada hak asasi pada masa ini. Tentu saja besi panas dan penyiksaan lain mewarnai bentuk introgasi para tahanan. Hal inilah yang memicu pertentangan antara Raden Walangsungsang dengan ayahnya. Ia tak tega tentu saja menyaksikan manusia disiksa, apalagi seorang wanita.

"Salam Ayahanda Prabu..." Raden dan saudaranya yang lain berlutut memberi salam.

"Bangunlah putra putriku!" ucap Prabu.

"Terima kasih atas kemurahan hati Ayahanda Prabu." jawab mereka lagi.

Keempat anak Prabu mengambil tempat tepat di sebrang tempatku. Gadis itu juga tidak ada diantara saudara saudarinya. Nyimas Rara Kadita.

PRABU SILIWANGI RAJA PADJAJARANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang