MANGKAT

1.5K 63 1
                                    

"Raden... Nyimas..." Teriak seorang dayang paruh baya setengah berlari mencari tuannya di lorong lorong menuju ruang singgasana. Tanpa sengaja dayang itu menabrak tubuh Nyimas Subang Larang hingga Nyimas terjatuh karena tubuh dayang yang menabraknya lebih tambun dari dirinya.

"Hampir Nyimas..." Ucap dayang itu ketakutan sembari menolong Nyimas berdiri.

"Tidak apa, bi. Ada apa hingga kau terlihat panik begitu?" Tanya Nyimas lembut.

"Itu.. itu... Gusti Prabu Nyimas... Gusti..." Ucap dayang terbata bata.

"Coba ucapkan dengan jelas, bi." Pinta Nyimas lembut setengah cemas.

"Nyimas..." Dayang tersebut menunduk sedih dan menangis. Tetesan air matanya sudah jatuh. Nyimas jadi sedikit cemas dan bingung harus bagaimana.

"Ada apa bi?" Tanyanya lagi.

"Gusti Prabu semakin parah Nyimas dan tabib menyuruh hamba untuk memanggil Nyimas dan Raden." Jelasnya semakin sedih.

"Apa? Ayahanda semakin parah?" Tanya Raden dari belakang yang langsung mengejutkan Nyimas Subang Larang dan dayang itu. Keduanya menoleh dan mendapati Raden yang disebelahnya bersama Nyimas Aci Putih. Dayang tadi langsung berlutut dan bersujud dihadapan Raden.

"Ampun Raden! Tabib meminta Anda dan kedua Nyimas untuk segera menemui Gusti Prabu.." sampai dayang tadi. Tanpa pikir panjang Raden langsung berbalik menuju kamar ayahandanya diikuti oleh kedua istrinya. Saat sampai disana, ia langsung mendapati putranya di salah satu sisi ranjang ayahnya sedang menangis sedang disisi lain ruangan asisten tabib sedang menggendong Nyimas Rara Santang mencoba menenangkan isak tangisnya dan sisi lainnya si tabib sedang tertunduk sedih dekat Gusti Prabu.

"Gusti Prabu, Raden sudah berada disini dengan Nyimas Subang Larang dan Nyimas Aci Putih..." Ucap sang tabib. Prabu menoleh kearah ambang pintu dan mendapati putranya dengan nafas yang masih tersengal sengal berjalan menuju ayahnya lalu berlutut di sisi lain ranjang ayahnya. Ia menggenggam jemari ayahnya dengan begitu erat dan gemetar hingga air matanya tak kuasa lagi ia bendung.

"Anakku..." Ucap Prabu dengan hiasan senyum pada wajah lemahnya.

"Ayahanda..."

Nyimas Subang Larang yang baru tiba tak kuasa menahan kesedihan melihat sakit ayah mertuanya yang semakin parah sejak dua bulan lalu. Ia menoleh kearah putranya yang sudah sangat terisak, menghampirinya dan langsung memeluknya dengan sangat erat. Raden Walangsungsang semakin kuat terisak dalam pelukan ibundanya. Diantara keluarga kerajaan yang lain, memang Raden Walangsungsang lah yang paling dekat dengan Prabu hingga ia menjadi sangat sedih saat kakeknya terbaring sakit.

Dengan terbata bata Prabu menyampaikan banyak hal pada Raden termasuk diantaranya adalah pesan agar menobatkan Raden Walangsungsang sebagai penerus tahta, menjadi putra mahkota setelah wafatnya Prabu dan menjadi raja penggantian Raden Pamanah Rasa nantinya. Ia juga meminta pada Aci Putih dan Subang Larang untuk saling menjaga dan mengayomi keluarga dan juga rakyat mereka.

Merasa kakeknya akan pergi Raden Walangsungsang semakin sedih dan terisak. Namun Prabu mencoba menenangkannya dan memberikan beberapa wejengan pada Raden muda itu. Ia meninggalkan sebuah busur panah miliknya untuk dimiliki oleh Raden Walangsungsang karena selama ini ia melihat Raden begitu antusias dalam memanah.

Setelah menyampaikan ucapan perpisahan pada keluarga tercintanya, sang Prabu Galuh menutup mata untuk selamanya. Ia mangkat dalam pelukan Raden Walangsungsang dan meninggalkan kenangan juga kesedihan bagi keluarga kerajaan dan seluruh rakyat Galuh.

Awan hitam memayungi kerajaan Galuh dengan kesedihan. Seorang raja yang adil dan bijaksana kembali pulang kehadapan sang maha kuasa. Derai air mata mewarnai segala penjuru kerajaan Galuh. Tak hanya kerajaan Galuh saja yang merasa kehilangan, tetapi banyak negara tetangga juga begitu kehilangan. Bagi mereka Prabu Anggalarang adalah sosok Prabu dan rekan kerajaan yang sangat disegani.

*****

PRABU SILIWANGI RAJA PADJAJARANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang