Fourteen: The other side

19 6 0
                                    






"Eh, Cin. Tau gak tadi gue sama yang lain abis ngapain? Kita berhasil ngasih pelajaran buat anak baru gak tau diri itu."

Perkataan Gisel sontak membuat Cindy langsung menoleh. Kedua matanya membulat, sampai akhirnya cewek itu sadar akan tatapan sinis Gisel yang curiga dengan rautnya yang tidak setuju. 

"O-oh ... ya? Apa dia baik-baik aja se- ehh maksud gue ... " Cindy cepat-cepat meralat kata yang memang sudah terbingkai jelas dalam benaknya. "terus dia gimana sekarang?"

"Sayang gak sampe tumbang. Tapi gue rasa yang tadi udah lebih dari cukup buat bikin dia trauma." Gisel berucap bangga. Sudut bibirnya terangkat lebih tinggi~tersenyum miring.

Berbeda dengam Cindy yang kini hanya  bisa semakin mengeratkan cengkraman tangannya yang menggenggam buku fisikanya. Dia cukup marah dengan perbuatan Gisel, tapi kembali dengan stigma untuk tidak ikut campur hal yang bisa saja berimbas kepada dirinya sendiri.

Cindy hanya tidak mau turut masuk pada jurang masalah yang lebih parah lagi.

"Lo gak mau ikutan? Seru, loh. Kapan lagi dapat bahan."

Tawaran antusias Gisel membuat Cindy kian  tegang. Diam beberapa lama, Cindy terkekeh hambar. Berusaha menutupi segala kemunafikan untuk seseorang yang sudah cukup toxic untuk dirinya.

"Ehmm ... gue gak dulu, deh. Hehehe. Kalo soal nge-bully mah gue udah cukup sibuk nge-bully haters yang gangguin idol gue." Cindy tertawa untuk menutupi kecanggungan. Tawa amat dipaksakan itu seirama dengan denyut jantungnya yang gugup. "Lagian ... lo tau sendiri kan Sharin gimana? Abis deh gue kalo ikut-ikutan ntar kena omel."

"Ck. Emang ya Sharin tu sok-sok an ngatur gak si? Gue rasa kadang dia emang cukup munafik. Apa lagi kalo udah asik sama pacarnya langsung lupa sama temen." Gisel memulai penghibahan. Cindy hanya bisa tersenyum kemudian mengangguk mengiyakan saja.

Untuk kesekian kalinya, lagi-lagi Cindy merasa dirinya beberapa kali lipat munafik. Dia terlalu pengecut untuk sekedar melawan Gisel.

Dalam hati dia memiliki banyak kalimat tegas untuk menyanggah segala gunjingan yang dilontarkan Gisel, namun dirinya tidak memiliki cukup nyali untuk mengutarakan itu.

Sharin adalah teman terbaiknya. Cindy merasa dirinya pecundang yang bahkan tidak bisa membela seseorang yang begitu berarti di hidupnya. Mengangguk seperti orang bodoh. Mengiyakan segala penilaian Gisel yang terus mencemoohkan sahabat terbaiknya hanya karena takut jika Gisel akan marah dan berakhir merundungnya.

Bohong jika Cindy tidak merasa sakit melakukan itu semua. Dia benar-benar marah. Muak bahkan tertekan ketika terus berada di balik punggung Gisel. Rasanya ingin berontak seperti orang gila.

"Kenapa gue bilang dia munafik coba? Pas di hadapan lo sok-sok baik. Pake acara tertarik juga lah sama apa yang lo suka. Lo gak geli gak sih, Cin? Selama ini dengerin lo cerita tentang kpop dia cuman pura-pura antusias aja biar lo seneng."

"M-maksudnya?" Cindy membeo.

"Iya. Dia cuman pura-pura antusias aja. Padahal dia pernah bilang ke gue kalo dia cukup muak sama lo. Dia bilang Cindy itu freak. Segitunya ngefans sama plastik. Dia ada bilang gini juga, kayanya ngapain coba si Cindy beli kertas sampe ngabisin duit bejuta. Tukang halu. Mau abis duit se M si Hyunsuk juga gak bakal mau jadi lakinya dia." Gisel berdecih. Menggamit bahu Cindy namun ditepis dengan cepat.

Gisel tersenyum apik, merasa puas berhasil mendoktrin Cindy. Terbukti dengan raut Cindy yang kini berubah murung dengan pandangan hampa.

"Enggak, deh. Sharin gak mungkin kayak gitu." Cindy menggeleng tidak percaya. Dia percaya penuh dengan sahabatnya. "Dia juga suka, kok. Bahkan sampe ikutan nonton pas gue muter MV trejo sama ensiti. Dia bahkan juga kepo sama nama-nama membernya."

Take your Partner [Complete]√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang