Thirty-nine: one's heart sink

12 5 0
                                    





“Jinu! Kamu denger Mama?! Ke sini sebentar!”

Pulang larut malam, Jinu sudah dihadang kedatangannya begitu menjejakkan kaki di rumah. Jinu terlalu malas mempertahankan kesopanan di hadapan seseorang yang tidak dia sukai seperti sekarang. Merasa beberapa kali lipat lebih munafik daripada seseorang yang melakukan hal keji lainnya.

Malas berdebat, kali ini Jinu memilih untuk menurut saja. Berdiri di hadapan sang mama dengan raut dingin. Miya beberapa kali dibuat terintimidasi namun tidak akan terus membiarkan diperlakukan remeh pada anak sendiri.

“Yang Mama lihat selama bergaul sama Jihan kamu jadi lebih membangkang kayak sekarang. Tanpa sadar kamu sudah dibawa pengaruh buruk dari dia. Enggak ada pertimbangan lagi, mulai besok kamu enggak perlu lagi bimbel sama dia. Mama udah dapat ganti guru las private yang lebih handal.” Miya berkata terus terang. Tahu jika akan dibantah, dia mengeluarkan kartu AS. “Oh, iya. Silakan kamu menolak, dan jangan protes kalau tiba-tiba ada kabar gak mengenakan yang terjadi ke Jihan.”

Ancaman tepat sasaran. Jinu sudah menggeram di tempatnya dengan rahang yang mengeras akibat menahan gejolak emosi.

“Eh, anak Mama. Dissy udah pulang, Nak?” Mengabaikan putra sulungnya yang sukar diatur itu, dia beralih pada keberadaan anaknya yang lain baru saja tiba di rumah. Jinu sontak ikut berbalik dan menatap adiknya yang baru saja pulang sekolah dengan pakaian seragam.

Dissy hanya membalas mama dan kakak laki-lakinya itu dengan senyuman kikuk. Wajahnya tampak lelah, ada kantong hitam yang melingkar di bawah kelopak matanya. Lesu tidak bertenaga tetapi tidak begitu keberatan selagi tidak dimarahi seperti biasanya.

“Dissy mending sekarang buruan mandi, ya. Habis itu langsung istirahat. Jangan ada begadang lagi,” titah Jinu spontan. Tak sampai semenit ucapannya itu langsung disanggah oleh mamanya.

“Ya enggak gitu, dong.” Miya menggamit bahu putrinya, lembut. Perkataannya amat ramah, berbanding terbalik dengan perilaku dan tuntutan tak dapat dibantah. Dissy hanya menunduk dengan wajahnya yang nanar. “Dissy kan habis les. Masa pelajarannya harus dilupain gitu aja. Mininal ada pengulangan biar gak lupa gitu. Sekarang Dissy bersih-bersih terus pengulangan dulu, ya. Sebentar aja, kok.”

“Ma-!”

“Iya. Habis ini Dissy langsung pengulangan, ya.” Dissy cepat-cepat menjawab sebelum sang kakak kembali melepaskan ucapan tak terkontrol hingga berakhir terjadi pertengkaran yang lebih parah.

Dissy menatap sang kakak dengan kedua sorot manik yang mengembun, berucap parau, “Kak Ji, Dissy juga enggak capek-capek banget. Soalnya tadi di tempat les juga enggak belajarin materi baru, jadinya enggak terlalu nguras tenaga.”

Dissy menurut saat dituntun menuju kamar. Jinu masih tidak terima dengan segala perlakuan yang diterima dirinya selama ini bahkan juga tejadi pada adik yang paling disayanginya. Dia tahu persis bagaimana rasanya ditekan sedemikian rupa.

Tergesa. Jinu mengambil langkah cepat menyusul dua orang perempuan tadi yang sudah masuk kamar. Jinu membuka pintu dengan cara yang bisa dibilang membanting. Ekspresinya bengis, dia langsung menarik tangan Dissy hingga terperangah.

“JANGAN PERNAH, PERLAKUIN ADEK GUE KAYAK ROBOT LAGI!” Jinu berteriak murka. Vas bunga kaca yang berada di atas meja rias dia hempaskan ke lantai. Miya menegang tak mampu berkata-kata. Tersentak dengan emosi Jinu yang pecah begitu saja.

Setelah melontarkan kecaman itu dia langsung pergi dengan sebelah tangan yang masih menggengam tangan Dissy. Dissy masih hilang akal bahkan pasrah ketika ditarik dan dibawa pergi.

Take your Partner [Complete]√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang