Forty-one: Falling petals

11 4 0
                                    




Sejak pulang ke rumah, Alana seolah mengunci mulutnya dan tidak ingin bicara dengan siapa pun.

Masuk ke kamar dan langsung mengurung di sini, perasaannya sedikit tenang saat tahu bahwa adiknya sedang bersama Arkan pada saat itu. Kakak lakik-lakiknya itu memang membencinya, namun  tidak pernah lupa kalau masih menjadi seorang kakak sulung dari dua adik yang amat rapuh, dan itu-lah yang menjadi alasan mengapa Alana begitu menghargai kakaknya meski jika dipertemukan mereka hanya akan bertengkar dan meributkan hal yang sama pada setiap pertemuannya.


Alana mematikan lampu kamarnya. Mencoba mencari sedikit ketengan seperti biasa, sunyi yang ditemani sebuah cahaya yang temaram. Perempuan itu duduk di atas ranjang kasurnya dengan kedua kaki yang dinaikkan. Alana memeluk lututnya sendiri, menenggelamkan wajahnya di antara kedua pahanya yang saling merapat.


Mungkin hal itu akan membuat perasaannya lebih baik beberapa kali lipat. Kesunyian adalah pilihan terbaik jika harus berhadapan dengan orang-orang yang hanya bisa membuat luka.


Saat kembali mendongak, Alana terpaku dengan suatu benda kecil yang tergeletak di samping kasurnya. Dia mengambil benda itu lalu memperhatikannya dengan seksama. Sebuah rubik yang menjadi obsesi Nino beberapa hari terakhir.


Tanpa sadar kedua pipinya bersemu. Alana hanya bisa terkekeh miris saat baru ingat kalau itu adalah rubik dari Harlan yang sebenarnya juga pemberiannya tepat delapan tahun yang lalu.


Mengingat bagaimana remaja bongsor seperti Harlan yang masih mempercayai mitos yang diucapkannya pure hasil 'mengada-ada' itu benar-benar membuat Alana mengulum senyuman geli.


Tiga detik Alana langsung sadar. Membuang nafas kasar. Membatin; 'kenapa juga dia harus memikirkan cowok brengsek yang sebanarnya sama saja dengan orang-orang jahat di sekitarnya.'


Alana kian resah. Dia bersumpah tidak akan memaafkan dirinya sendiri jika harus terus memiliki perasaan itu pada Harlan.


“Sadar, Al! Sadar!” Alana meluruskan pandangan, menatap pantulan wajah menyedihkannya itu di depan cermin. Menepuk pipinya beberapa kali, berharap disadarkan akan hatinya yang mulai jatuh pada orang yang salah. “Ada Juwan yang selama ini bisa sayang sama lo. Ada Juwan yang terus-terusan ada di sisi lo. Al, lo harus liat itu.”


Alana menghela nafas berat hingga akhirnya menjadi begitu bersemangat. Juwan. Ya, Alana kini menemukan titik solusinya. Akan lebih baik jika ia mengisi hatinya dengan seseorang yang jauh lebih pantas.


Alana langsung beringsut dari tempatnya. Begitu tergesa, bibirnya sedikit bergerak menggumamkan sosok yang ada dipikirannya saat itu juga. Alana tidak ingin bertele-tele lagi, dia akan membangun sebuah rumah itu dengan Juwan dan akan berusaha membangun kebahagian yang sudah lama sirna,


tekadnya.


***


“Al, tumben ngajakin gue jalan mendadak kayak gini, biasanya lo yang paling kesel kalo gue giniin.” Juwan langsung menyuarakan kejanggalannya pada Alana begitu dia sudah tiba di hadapannya.

Mereka bertemu di tepi jembatan yang menaungi laut. Semilir angin meniup tiap helaian surai mereka berantakan. Juwan kembali fokus dengan pemandangan biru cerah di hadapannya. Bertengger pada pagar jembatan dan tampak begitu antusias menghambur beberapa remahan roti untuk mengundang sesuatu.


Mereka memang sering pergi ke tempat ini yang memang cukup menenangkan. Tidak banyak orang yang tahu hingga tidak begitu ramai. Hanya desiran ombak yang sesekali gemericik, suara semilir angin berkesiur merdu, serta cicitan burung camar yang beradu seru. Juwan menyipitkan matanya akibat silau matahari yang menyerang pupil matanya.


“Al, liat deh.” Juwan tergelak dan terus mengahamburkan remahan roti di sekitarnya, burung-burung indah yang terbang bebas itu sontak berkerumun mengelilingi mereka.

Take your Partner [Complete]√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang