Forty-eight: Only time will tell [Ending]

42 5 0
                                    





1 tahun kemudian.🍃🍃🍃🍃

Tiga tahun menempuh sekolah menengah atas tak berarti apa-apa untuk para anak ambis yang dituntut pada jenjang yang lebih tinggi. Saat berhasil melewati masa remajanya, hal itu justru baru dimulai. Sebuah awal dari permulaan atas badai pendewasaan yang akan datang jauh lebih rumit lagi.

Di masa penghujung kelas dua belas mereka sudah dikuras cukup banyak untuk ujian akhir kelulusan. Selesai ujian akhir, mereka juga harus berhadapan dengan ujian masuk perguruan tinggi. Inilah harinya, para siswa tingkat akhir sudah berbondong-bondong keluar dari ruang ujiannya usai bergelut dengan rentetan soal rumit yang seolah menjadi lintah pengisap energi.

Juwan lebih dulu keluar. Rautnya tampak ambigu. Antara yakin dan pasrah. Secerdas apapun dia di sekolah, tidak akan menjamin keberhasilan tahap pertama yang dilakukan. Namun wajah kusut Alana yang berikutnya keluar dari ruangan dingin dengan atmosfer mencekam itu cukup menghiburnya. Juwan tertawa, melepaskan stress-nya sesaat akibat menjadikan ekspresi Alana hiburan.

"Apaan lo?! Kayaknya otak lo gak beres abis ngerjain soal TKA ama TPS. Ngapain ketawa-ketawa sendirian?!" Alna mendelik judes. Sebelah kaki menendang bokong Juwan hingga makin tepingkal.

"Bawa santai aja, Bu." Juwan menyatukan kedua telapak tangan di depan berbentuk salam namaste. Menenangkan Alana. Meringis ngeri. "Lagian kalo gak lolos ini masih ada ujian mandiri. Jangan terlalu dipikirin."

"Hmm ... iya, sih. Tapi sayang aja kalo gak lolos seleksi yang ini gak dapet UKT murah." Alana mengangguk-angguk. Menghela nafas panjang. Beberapa menit setelah mengatakan itu dia terjengit saat pintu ruang ujian yang dilewatinya tadi terbuka spontan, menampakkan ekspresi sosok yang juga tak kalah absurb.

Alna mendengus miris, menatap Harlan yang juga akhirnya keluar dengan wajah cengar-cengir.

"Kayaknya gue bakal tambah gak waras berhadapan sama dua cowok yang sama seblengnya!"

Setelah mengatakan itu Alana mengambil langkah cepat. Juwan dan Harlan buru-buru menyusulnya. Ketika sudah berada di area luar mereka sudah disambut wajah-wajah orang terdekat.

Alana berlari pada keluarganya dengan wajah merekah. Beberapa kali bersemangat lantaran keluarganya sudah kembali utuh. Bukan hanya Nino yang menunggunya ujian, tetapi ayahnya juga turut datang dan yang pastinya bersama-

"Bang Arkan!"

Alna melambaikan tangannya tinggi pada sang kakak. Tidak menyangka Arkan akan datang di tengah kesibukannya bekerja. Alna langsung berhambur ke pelukannya. Arkan tersenyum manis, mengusap puncak kepala adiknya, lembut.

Harlan menyusul. Mendatangi keberadaan mamanya namun pandangannya tak lepas pada dua insan yang begitu mesra. Lian tertawa melihat ekspresi cemberut putranya yang dibutakan oleh cemburu.

"Sst ... Alana sama siapa, tuh?" Harlan bisik-bisik pada Juwan yang masih asik berbincang dengan ayah dan satu adik perempuannya.

Ayah Juwan yang juga delapan puluh lima persen hendak menyambut putranya, juga tak lupa dengan pekerjaannya yakni menjadi sopir si tuan muda. Dia juga turut menoleh, mengira kalau Harlan juga memanggilnya untuk sesuatu.

Juwan menggeleng sebentar pada ayahnya—memberi isyarat bukan apa-apa. Sebelum akhirnya kembali memberikan atensi pada Harlan yang mendadak menjadi kepo. "Ck. Lo enggak tau? Kalo Alana juga punya gebetan?"

"Maksud lo?" Harlan terbelalak. Cepat sekali panas hanya karena kompor seperti Juwan.

Puas sekali. Juwan mengerling licik, bibirnya berkedut menahan senyum jenaka. Mumpung target sudah masuk, saatnya melakukan sesuatu yang jahil.

Take your Partner [Complete]√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang