Two: I'm a bitch?

81 13 4
                                    

Hari ini, hari yang paling ditunggu-tunggu telah tiba. Hari terakhir yang menjadi pelepasan rasa resah yang sudah menggeluti para peserta olimpiade lomba cerdas cermat sejak tiga minggu yang lalu untuk mempersiapkan diri dengan matang.

Beberapa peserta sudah maju mewakili sekolahnya dengan bangga, sementara sebagiannya lagi masih terlihat gugup berada di back stage untuk menunggu giliran. Begitu pun dengan cewek yang kini menelan obat penenangnya bulat-bulat. Dia menepuk dadanya, tersedak. Nyaris menangis kalau saja seseorang tidak datang dengan tepat dan menyodorkan sebotol air mineral.

Jihan terbatuk-batuk sembari memukul-mukul dadanya. Kedua netranya membola saat baru menyadari siapa yang berbaik hati memberitahu botol minum barusan.

"Kok masih sinis aja sama gue?" Jinu hanya bisa meringis saat melihat ekspresi Jihan yang tidak jauh berbeda dengan awal pertama kali mereka bertemu.

"Thanks," jawab Jihan singkat. Pandangannya kembali beralih pada layar televisi berukuran sedang yang kini menampilkan acara olimpiade di panggung inti.

Pertandingan cukup sengit, mereka semua berusaha semaksimal mungkin menunjukkan eksistensi terbaik. Terlebih lagi acara ini tayang secara langsung pada siaran TV nasional, kesalahan sepele bisa saja mempermalukan diri sendiri.

"Han, kita itu se-team buat mewakili sekolah. Kok lo ngeliat gue musuh banget, sih?" Jinu mendengus, kesal. Sementara Jihan justru membuang muka dengan pandangan ke arah lain.

"Untuk peserta selanjutnya harap bersiap. Setelah ini SMA Sendrawinata yang akan tampil."

Kedatangan seseorang yang menyebutkan nama sekolah mereka membuat Jinu dan Jihan kembali bersiap.

Dan benar saja, hanya dalam lima menit, mereka sudah diminta untuk masuk ke panggung utama. Namun baru satu langkah Jihan hendak berjalan meninggalkan back stage, Pak Bardi tiba-tiba datang dengan tergesa dan menarik pundaknya.

"Jihan!" Pak Bardi tampak kalut. Bingung lantaran harus bagaimana menyampaikannya.

Jihan masih menyorot Pak Bardi dengan pandangan bertanya-tanya. "Ada apa, Pak?'

"Saya barusan dapat telpon. Katanya Ibu kamu sekarang dibawa ke rumah sakit!" ungkap pria paruh baya itu.

Sontak kedua mata Jihan membola. Obat penenang yang susah payah ditelannya tadi mendadak tidak berfungsi sama sekali. Cewek itu langsung dilanda panik. Menjatuhkan papan nama yang juga berisi nomor peserta itu, ia terburu-buru mengemasi barangnya.

Jihan sudah tidak bisa berpikir lagi. Rasa khawatir dan panik bercampur ruah menjadi satu. Begitu mendengar kabar buruk itu, ia bahkan lupa dengan situasi genting yang juga datang di waktu bersamaan.

"Tapi Jihan ... bagaimana dengan olimpiadenya?" Saat sedang genting-gentingnya, Pak Bardi masih sempat-sempatnya menanyakan soal olimpiade.

Tapi jika dipikir-pikir. Benar juga. Jihan bahkan sudah mengerahkan semua usahanya untuk mempersiapkan ini. Dia bahkan juga terancam kehilangan kesempatan untuk meraih beasiswanya jika tidak membawa pulang mendali pada olimpiade ini.

"Han, mending lo buruan ke rumah sakit. Soal olimpiade serahin ke gue." Jinu yang menyimak pembicaraan dua orang itu sejak tadi akhirnya berpendapat. Pak Bardi langsung memelototinya.

"Jinu!" Pria paruh baya itu menegur dengan nada keras. "Jangan coba-coba mengatakan hal yang tidak masuk akal ya! Lawan sekolah kita kali ini Citrabangsa. Bagaimana caranya kamu melawan mereka sendirian?!"

Jihan jadi pening sendiri. Dia bahkan jadi kesulitan untuk pergi karena Pak Bardi yang menahannya. Namun selang beberapa waktu, Jinu meliriknya dengan isyarat. Cowok itu membiarkan Pak Bardi terus mengomelinya untuk mengalihkan perhatian pria paruh baya itu agar memberi kesempatan Jihan kabur.

Take your Partner [Complete]√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang