Seventeen: Open requirements

17 7 0
                                    







Di depan kediaman seseorang, Alana meluruskan pandangan penuh keyakinan. Gadis itu menghirup nafas dalam-dalam, berusaha meyakinkan diri sendiri untuk kesekian kalinya agar tidak menyerah demi mengembalikan ikatan yang memang tidak seharusnya terputus.

Tidak banyak yang Alana harapkan untuk kali ini, ia hanya berharap agar setidaknya seseorang yang disebut sebagai kakak kandungnya ini mau menerima niat baiknya serta harapannya agar keluarga kecilnya kembali utuh seperti sedia kala adalah hal yang menjadi mimpi terbesarnya hingga saat ini dan entah sampai kapan.

Alana paham betul bahwa kehadirannya saat ini masih sulit untuk diterima. Namun dia tidak menyerah. Segala usahanya kali ini mungkin dapat membuahkan hasil setidaknya sedikit.

Menengok ke arah kaca rumah kos itu sedikit, Alana mengurungkan niat untuk mengetuk pintu ataupun menekan bell. Pikirnya, mungkin akan lebih baik jika ia meninggalkan rantang makanan yang ia siapkan sepenuh hati ini di depan pintu saja, dengan begitu ketika kakak laki-lakinya tersebut membuka pintu, dia sudah dapat menemukannya dengan mudah.

Baru saja ia meletakan rantang makanan itu di tempat yang sudah seharusnya, pintu yang sejak awal tidak tersentuh oleh ketukan punggung tangannya itu terbuka, menampilkan sosok yang sejak awal menjadi sumber kekhawatiran  Alana sejak tadi.

“Ngapain lo di sini?!” Arkan, wujud yang masih memiliki hubungan darah dengannya itu membuka suara dengan nada yang begitu dingin.

Sebuah sapaan yang benar-benar menjatuhkan mental Alna. Menghancurkan segala eksistensi harapannya.

Alana selalu mendapatkan respon seperti ini dari sang kakak, namun hal yang paling membuatnya kesal adalah dirinya yang masih saja belum terbiasa akan hal yang memang bisa dimengerti.

“Eh, Bang Arkan. P-pa-pagi, Bang. U-udah sarapan?” Alana menyapa gugup. Berbasa-basi seolah hal yang menjadi awal mula tebing yang membatasi mereka saat ini benar-benar perkara yang kecil.

“Pergi dari sini selagi gue masih nyuruh dengan cara baik-baik.” Masih dengan nada ketusnya, Arkan menyorot adiknya –tajam. Mengusir secara terang-terangan.

“I-iya ini aku juga mau pulang.” Alana cepat-cepat meluruskan. Dia mengangkat rantang makanan yang ia bawa-bawa sejak tadi dan menyodorkan pada kakaknya dengan wajah antusias.

“UDAH GUE BILANG BERENTI BAWAIN GUE MAKANAN?!”

Hanya butuh sedetik untuk emosi Arkan menguap. Alana tersentak saat hardikkan itu bersamaan dengan suara rantang makanan yang tiba-tiba dilemparkan Arkan ke lantai dengan kasar. Menumpahkan segala isinya, terhambur tak ada harganya seperti sampah tidak berguna.

Alana menarik nafas dalam, kembali menguatkan hati untuk hal yang terjadi kesekian kalinya. Parau, ia tetap berusaha  mengeluarkan suara meski bergetar karena menahan tangis. “Kapan Abang bisa mulai berdamai sama keadaan? Mau sampai kapan Bang Arkan terus-terusan kayak gini.”

“Damai lo bilang?!” Arkan mendesis dengan deruan nafas gusar. “gue … mati-matian buat memahami semuanya, tapi akal sehat gue bener-bener gak bisa memahami lo yang masih ngebela bahkan berempati sama pembunuh kayak dia?!”

“Ayah bukan pembunuh!”

“JANGAN BERANI-BERANINYA NYEBUT DIA SEBAGAI AYAH DI HADAPAN GUE?!” Arkan berteriak murka. Emosinya yang berada di ubun-ubun itu sudah tidak dapat lagi mendeteksi adiknya yang kini berdiri di hadapannya tampak semakin rapuh.

Sampai kapan pun Arlan tidak akan pernah melupakan segala kekecewaan yang menghantuinya selama bertahun-tahun.

Arkan tahu betul bahwa bukan hanya dirinya yang selama ini menampung banyak luka kekecewaan. Dia cukup tahu bahwa adiknya juga menampung segala luka itu, membawa beban itu sendirian bahkan meski ia memutuskan untuk berpaling karena tidak ingin berbagi luka yang jauh lebih banyak lagi.

Take your Partner [Complete]√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang