Twenty-nine: Terrible past

11 6 0
                                    







"Eh, Abang juga di sini?"

Dua sudut bibir Alana mengembang untuk beberapa saat ketika menemukan sesuatu yang benar-benar di luar nalar. Alana menepuk pipi dua kali untuk menyadarkan bahwa ini bukan mimpi.

Ada sedikit waktu senggang Alana tidak lupa menyempatkan diri untuk melihat keadaan sang ayah yang terjebak di jeruji besi. Namun setibanya di lapas ia justru bertemu dengan kakak laki-lakinya tanpa diduga sama sekali.

"Bukan urusan lo." Seperti Bisa, Arkan tidak pernah melewatkan satu kali pun untuk tidak bersikap dingin. Jawaban singkat itu tetap membuat adik perempuannya antusias.

"Aku tau Abang enggak sepenuhnya benci sama Ayah." Gadis remaja itu tersenyum haru. Tampak beberapa kali lebih antusias menunggu sesuatu yang sebenarnya berpotensi lebih besar menjatuhkan segala ekspetasinya "Abang cuman butuh waktu aja. Aku bakal tunggu itu."

"Atas dasar apa lo nyimpulin gue seenteng itu?" Arkan menghela nafas gusar lalu menatap rendah. "Sekarang gue udah enggak peduli kalau pun lo masih mau ngaku sebagai anak pembunuh itu. Tapi asal lo tau, gue najis kalo harus dibilang satu darah sama orang yang ngaku jadi anak si pembunuh!"

"Orang yang Abang anggap pembunuh itu orang tua kita." Alana menampik, "jangan bilang kayak gitu sama Ayah kita."

"Ck. Jadi lo masih pikir itu semata-mata anggapan gue?! Gue yang liat kejadian itu dengan mata kepala gue sendiri pada waktu itu, dan lo bilang itu cuman sebuah anggapan?!"

"Bang! Aku capek. Kita cekcok hal ini itu kayak gak ada abisnya?! Abang kenapa sih masih aja terus-terusan ngedebatin hal itu?!" Nada Alana kian meninggi. Kalau biasanya Alana berusaha sabar untuk menanggapi segala kekasaran Arkan saat berinteraksi dengannya, untuk saat ini mungkin berbeda.

Akhir-akhir ini gadis itu memang lebih banyak mendapatkan tekanan entah di lingkungan sekolah bahkan di lingkungan keluarga. Ditambah lagi menghadapi sikap Arkan yang diluar batas benar-benar menguji habis kesabarannya.

Alana ingin kabur sejauh yang dia bisa namun hal itu nihil, dirinya lagi-lagi diminta untuk bersabar sehingga begitu membuatnya muak sampai ingin  meledak melampiaskan kepada apapun yang memicu kefrustasiannya saat ini.

"Sekali lagi aku tekanin! Oke, kalo itu mau Bang Arkan, aku gak akan minta lagi buat dianggap sebagai adek kandung Abang." Alana semakin emosional. Suaranya bergetar menahan tangis. Membuka lebar kedua kelopak matanya yang tertuju tegas pada sang kakak. "Dan dengan itu aku berharap Bang Arkan berenti ngatain Ayah aku pembunuh!"

"Punya hak apa lo ngatur gue?!" Arkan kehilangan batas. Naik pitam saat berani-beraninya sang adik menghardik dengan segala keangkuhan. Bergemuruh akan kemurkaannya, Arkan menarik sebelah lengan adiknya kasar hingga terperangah, menyeret tidak peduli untuk membawanya ke suatu tempat. "Ikut gue! Setidaknya yang bakal gue tunjukkan ini mungkin bisa sedikit ngebuka mata lo soal kenyataan!"

"Enggak!" Alana meronta. Mati-matian menepis cengkraman tangan Arkan yang terus menariknya hingga membuatnya terpaksa melangkah ke suatu tempat. "Bang Arkan! Lepasin tangan aku, sakit!!!"

Arkan tidak peduli dan terus melakukan hal sama. Sampai seperskian detik mereka akhirnya berhenti tepat di depan ruang besuk yang berhalat sebuah kaca transparan.

Alana memang baru saja menjenguk ayahnya dan sekarang sang kakak mencoba menariknya lagi untuk berdiri tepat di hadapan pria itu. Kebetulan si Fandi--orang yang masih memiliki hubungan darah dengan mereka itu belum beranjak. Dia tampak antusias begitu melihat putranya yang nyaris menghabiskan beberapa tahun tidak pernah menampakkan diri lagi di depan matanya.

Take your Partner [Complete]√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang