Twelve: Who is Larry?

15 7 0
                                    



"Han, Jihan! Tunggu! Gue bisa bertanggung jawab sama semua ini."

Sampai ke pinggir jalan raya, Jinu masih saja mengikuti Jihan. Cewek itu masih tak sudi bahkan untuk sekedar menggubrisnya.

Nyaris menyebrang tepat saat ada kendaraan yang melaju di depannya, Jihan tersentak saat itu juga Jinu menarik tangannya cepat untuk mundur. Mereka sama-sama jatuh terduduk di pinggir jalan sembari mengaduh kesakitan.

"Lo mau mati?!" Jinu menghardik, panik. Mengatur nafas yang sempat tercekat. Wajahnya kian nyalang mendapati ekspresi orang yang dikhawatirkannya hingga saat ini tampak tidak peduli.

"BIARIN GUE MATI?!" Jihan balas berteriak. Hanya sedetik, cewek bermata monolid itu menutup wajahnya kemudian menangis sejadinya, kecewa.

Segala harapan hidupnya seolah runtuh. Hal apa yang bisa diharapkan untuk hidup di dunia yang kejam ini walau sekedar jiwa miskinnya yang tersisa.

"Han, masalah uang ... gue bisa ganti. Lo enggak perlu seberlebihan ini, oke!"

"Berlebihan lo bilang?!" Jihan mendongak. Balas menatap Jinu, tajam. "Udah puas lo datang buat ngacak-ngacak hidup gue, huh?! Emang hidup gue terlalu menyenangkan buat jadi lelucon lo! Sayangnya ... Ji, lelucon orang tajir kayak lo terlalu mahal buat manusia rendahan kayak gue!"

"Gue harus ngejelasin pakai cara apa lagi kalo gue serius pengen jadi partner lo, sih?" Jinu menarik nafasnya, serat. Dua sudut bibirnya mengukir senyuman, senyuman yang begitu pahit.

Jihan yang nyaris membuka mulutnya lagi untuk kembali mencerca mendadak mengurungkan niat. Baru kali ini dia melihat Jinu serapuh itu. Kedua alisnya yang turun dengan kedua bola mata yang berair, entah kenapa Jihan dapat turut merasakan bagaimana pikulan cowok itu yang menyiratkan betapa putus asa dirinya saat ini.

Jihan terkesiap ketika saat itu juga Jinu menyingsing lengan seragam panjangnya. Memperlihatkan banyak gurat sayatan di sana. "Apa ini lebih dari cukup buat lo percaya sama gue, Han?"

"J-Jinu ... " Jihan tergugu. Tak dapat berkata-kata. Dia tidak pernah menyangka sosok Jinu yang selama ini ia tahu periang bahkan jahil memiliki banyak luka yang tak terlihat.

Jihan dapat merasakan meski Jinu tak mengungkap detile-nya. Orang yang memahami kesulitan orang lain adalah orang yang juga mengalami kesulitan itu. Kenyataan mereka memang sama-sama melakukan self harm, namun dengan cara yang berbeda.

"Gue ... " Jinu menunjuk dirinya sendiri. Rahangnya mengeras, menekan kuat emosinya. Rasanya ingin menangis. "emang punya segalanya di sini, Han. Semua kebutuhan gue terjamin! Tapi satu hal yang harus lo tau, gue enggak pernah dapat hak untuk memegang kendali hidup gue sendiri!"

Jihan menatapnya nanar. Merasa bersalah. Tidak pernah sebelumnya ia melihat Jinu semarah ini.

Tidak ada kalimat penyelaan satu kecap pun, Jinu melanjutkan diiringi helaan nafasnya yang gusar. "Demi Tuhan, gak ada sedikit pun gue bermaksud untuk beradu nasib! Karna gue tau setiap manusia memiliki porsi masing-masing buat menghadapi minus kehidupannya yang dikasih sama Tuhan

... tapi gue tetep manusia. Gue juga sering berontak ketika udah gak mampu buat nanggung porsi masalah yang jauh lebih nyakitin lagi. Gue coba semua hal yang bisa jadi pengalihan, gak ada yang bener-bener efektif. Sampai akhirnya gue nemu titik terangnya. Gue sadar, gue gak punya waktu buat diem kayak orang tolol dan ngasianin diri sendiri. Gue yang harus take action buat keluar dari sini, setelah gue liat gimana usaha lo buat berontak dari porsi yang udah dikasih Tuhan."

Take your Partner [Complete]√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang