Thirty-two: You didn't tell me

11 7 0
                                    




Jika bisa menghilang dalam sehari saja, Sharin berharap bisa menghilang. Dia ingin kabur pada situasi yang menimpanya akhir-akhir ini. Ingin kabur jika memang memiliki kesempatan untuk kabur.

Sharin tidak peduli jika ia dikatain pengecut. Merasa tidak salah ketika memilih untuk menenangkan diri terlebih dahulu sebelum menghadapi kepahitan yang terus mengejarnya, menuntut sebuah pertanggungjawaban.

Keluar rumah. Sharin menghirup udara pagi dalam-dalam. Setidaknya cukup membuatnya sedikit lebih baik. Masih ada rasa syukur pagi ini karena saat keluar rumah untuk keberangkatannya ke sekolah, dia tidak menemukan keberadaan ayahnya yang tidak absen membuat huru-hara.

Sharin memasang sepatunya di teras. Setelah semuanya beres, ia tidak lupa mengunci pintu. Bodo setan jika nanti ayahnya datang dan akan mengamuk karena tidak dibukakan pintu. Dia juga harus mencari cara agar mengusir ayahnya segera dari rumah.

Dua meter ia meninggalkan halaman rumah, mendadak langkahnya terhenti saat melihat seseorang yang berlari pontang-panting ke arahnya.

Siapa?


Kedua belah kelopak mata ganda Sharin menyipit untuk memfokuskan kembali pupil matanya yang menyorot objek dari jarak yang semakin lama kian menipis.

"Dani, kamu kenapa?!" Sharin langsung bertanya begitu tahu siapa orang yang berlari ke arahnya saat ini. Dani hendak menjawab namun dia masih dilanda kepanikan. Sampai akhirnya Sharin berteriak lagi saat sadar cowoknya itu lupa melihat ke bawah dan mengarah pada besar di hadapannya. "Dani awas! Itu hati-hati di depan kamu!"

Brught!

Terlambat. Dani sudah tersandung hingga terjerembab dalam keadaan telungkup. Namun cowok itu tidak peduli, dia bangkit lagi lalu menepuki pakaian dan baju seragamnya yang kotor.

Nafas Dani terengah. Dia meraih tangan Sharin tanpa permisi lalu menarik ceweknya untuk segera membawanya pergi dari tempat itu. Sharin mengerutkan kedua alisnya~bingung, tidak ingin beranjak begitu saja.

"Bi! Ayok kita lari sekarang!" Dani bicara tergesa. Terus mendesak untuk membawa Sharin pergi.

"Loh, emang ada apa? Kenapa harus lari?" Sharin terus meminta jawaban.

"Duhh!" Dani berdecak. Beberapa kali menengok ke belakang seperti orang paranoid. Dia mengabaikan Sharin yang kelewat santai mengelap jejak keringat yang berada di pelipisnya. "Pokoknya kita harus lari sekarang! P-papi ... "

Dani ngos-ngosan. Kesulitan bicara lantaran diburu kalut. Dia menarik nafas berulang kali hingga akhirnya bicara, "Pa-Pi! Papi ngejar aku! Abis kalo ketangkep bisa dibunuh entar!"

"Kenapa bisa? Emang kamu ngelakuin apa sampe dikejar?!"

"Aku nyolong dompet Papi!"

"HAH?!"

Dani mengacak rambutnya, kacau. Dari kejauhan dia sudah dapat melihat ayahnya dan satu satpam di rumah berlari seperti akan memangsanya. Dani tanpa banyak pikirnya langsung menggandeng tangan Sharin yang masih tercengang, menarik lalu membawanya kabur.

Sharin yang masih sempat linglung akhirnya menurut saja. Dia ikut berlari untuk menyelaraskan langkah Dani yang dalam keadaan menggenggam tangannya yang hangat.

"Anak nakal! Awas kamu!"

"MAAF PAPI! I LOP U! AKU BAKAL PAKAI UANGNYA BUAT HAL BERMANFAAT BAGI NUSA DAN BANGSA!" Dani ngikik. Sharin yang posisinya sambil terus mengikuti langkahnya cepat lantas menoleh pada cowok absurd yang masih menggandeng tangannya tersebut, beberapa saat ikut tertawa, geleng-geleng dengan kelakuan pacarnya yang luar biasa nakal. Pantas saja orang tuanya berpikir ingin memasukan ke madrasah.

Take your Partner [Complete]√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang