Forty-two: Piss someone off

10 4 0
                                    






“Ada apa ribut-ribut?”


Alna menjatuhkan sebuah rantang yang ditenteng sejak rumah. Pagi ini memiliki jadwal kunjungan ayahnya yang berada di lapas. Namun baru sampai pada halaman luas bangunan itu dia mendapati kerumunan yang luar biasa banyaknya.

Sebuah bus besar disiapkan untuk beberapa tahanan. Segerombol manusia menghadangnya, meneriaki kalimat makian dan banyak umpatan. Sepertinya ada pemindahan tempat tahanan.


Alna merasakan firasat buruk. Dia memutuskan ikut berdesakan dengan membelah kerumunan. Dan mendapati ayahnya yang juga berada di antara beberapa tahanan lain.



Alna tergugu. Dia masih belum sepenuhnya sadar apa yang sebenarnya terjadi. Orang yang berada di sekitarnya semakin berisik saja mengkoorkan kalimat yang sama. Melontarkan kalimat dukungan hukum mati para tahanan. Alna beberapa kali tergencet. Pikiran negatif memenuhi kepalanya. Dia tidak ingin gegabah, bisa saja itu salah.



“Ini sebenarnya ada apa, Pak?!” Alna bertanya setengah berteriak pada pria paruh baya yang kebetulan jauh lebih dekat posisi di sampingnya.


“Para tahanan mau dipindahkan. Karna ada sidang ulang sejenis pertimbangan hukuman mati, Mbak. Cuman saya kurang paham juga, sih. Pokoknya kurang lebih seperti itu,” jawab si Bapak.


“PERTIMBANGAN HUKUMAN-PERTIMBANGAN HUKUMAN GIMANA, PAK?!” Alna langsung berang. Pria paruh baya itu langsung cepat-cepat melengos lalu hilang di tengah kerumunan. Alna mengacak rambutnya frustasi. Dia meluruskan pandangan, dan melihat ayahnya yang sudah dituntun masuk pada bus besar itu.

Namun satu langkah kakinya dapat beranjak,  bus akhirnya berjalan. Alna yang sempat linglung langsung berteriak histeris. Mengamuk hendak menghentikan itu namun terhalang orang-orang di sekitarnya.


Alna menggila di tempatnya. Sebanyak apapun dia berteriak dengan tangis yang nyaring, suaranya tetap kalah, tenggelam dengan keriuhan di lokasi itu.



***


“Al, gue tau lo lagi gak baik-baik aja! Gue ke sana sekarang! Jangan ngelakuin hal-hal aneh-aneh bahkan walau dalam semenit gue belum sampai!”


Sambungan telepon dari Juwan terputus. Alna mematikan ponselnya lalu dihempaskan kasar ke lantai. Beritanya sudah tersebar di mana-mana. Kasus yang seolah diiputuskan sepihak. Alna semangat hidup dan bekerja keras karena yakin dengan kehidupan masa depan yang menjanjikan hal baik. Alna yakin dengan keajaiban akan berpihak dengan orang yang selalu bersikap baik.


Tapi apa yang terjadi sekarang? Menjadi orang baik hanya akan disiksa. Keadilan tidak akan berpihak semalaikat apapun dirinya.

Alna lelah. Dia ingin berontak sebanyak yang dia bisa. Tidak ada hal baik yang mungkin akan datang. Apa itu pelangi setelah hujan?! Alna ingin terbahak sebanyak yang dia bisa, menertawakan janji menyedihkan dari sebuah omongan kosong sampah itu.


Air mata Alna kembali bercucuran. Wajahnya dingin dan amat menusuk. Pandangannya hampa seperti tidak ada gairah untuk melanjutkan hidup. Dia teringat, ada beberapa banyak dampak penderitaan yang berasal dari pria itu.

Alna mencoba berpikir lagi, manusia berdosa seperti Gabino, hidup tenang dengan kesuksesannya sendiri. Mujur di atas penderitaan keluarganya. Bahkan ketika nyawa ayahnya yang terancam, Alna tidak bisa berhenti mengingat bagaimana Gabino tertawa di singgasananya.


Alna sudah tidak ingin lagi melihat ketidakadilan itu. Sakit. Dia tidak bisa menahan diri untuk menjerit sendirian menahan kesakitan itu semua. Menghancurkan sel-sel otaknya yang harus berpikir jernih. Dadanya bergemuruh panas, perempuan itu beranjak dari tempatnya dengan sorot bengis.

Alna merogoh-rogoh isi lemari pakaiannya tampak brutal. Mengaduk segala isinya sampai berantakan. Selang beberapa detik dia menemukan sesuatu.


Sebuah benda yang panjangnya sekitar lima senti itu terbungkus kertas koran. Alna kehilangan akal sampai harus mengeluarkan pisau tajam yang diasahnya rutin sejak beberapa tahun itu akhirnya akan ia gunakan juga.

Take your Partner [Complete]√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang