Thirty-seven: I'm under your spell

20 5 0
                                    


Baru sehari tanpa Sharin, Dani dilanda kemeranaan. Dia tidak mengerti mengapa mendadak lebay seperti sekarang. Yang jelas ada banyak hal yang berat untuk sesuatu yang biasanya ada namun hilang begitu saja.

Dani duduk di bangkunya. Meluruskan punggung pada sandaran kursi seperti tidak bertenaga. Dia membuka ponsel namun langsung tertegun dengan lock screen yang terpampang foto Sharin. Perasaannya kian rumit.

Tepat kejadian nahas kemarin yang menimpa gadisnya itu tentu saja meninggalkan cukup trauma. Seharusnya dia tidak perlu heran lagi kalau hari ini Sharin tidak masuk sekolah, mengingat bagaimana penindasan yang didapatkan cewek itu.

"Hhh ... galau kan lo? Rasain! Makan tuh gengsi!"

Dani tersentak dengan interupsi seseorang yang begitu tiba-tiba, bersamaan dengan bunyi derit kursi di sampingnya yang ditarik untuk siap diduduki.

Dani menoleh cepat. Wajahnya langsung antusias begitu melihat siapa yang mengejeknya barusan. Cindy hanya mendengus kesal sebelum akhirnya melirik Dani dari sudut matanya yang sinis. "Apa lo liat-liat?!"

"Cindy! Gimana keadaan Sharin sekarang? Dia baik-baik aja, kan? Udah makan? Tadi malam dia cukup tidur?!"

Cindy speechless dengan pertanyaan bruntun Dani yang seperti tidak ada habisnya. Bukannya menjawab, cewek itu langsung dongkol. "Kenapa nanya gue?! Justru gue yang mau tanya sama lo di mana temen gue. Lo kan pacarnya!"

"Lah ... biasanya juga Sharin nginap di rumah lo, kan?" Dani bersungut-sungut. "Lagian aneh juga kenapa kalian mendadak lost contact gini."

Cindy langsung diam. Menahan nafas. Tampak begitu sendu. "Gue ... juga cukup malu buat nampakin diri di depan Sharin sekarang. Gue bahkan masih enggak yakin apa diri gue masih pantas disebut sebagai temen."

Dani hanya bisa mengerutkan alis, miris. Mendengar segala keluh kesah Cindy seperti tidak ada harapan lagi. Padahal Dani sempat kepikiran untuk meminta tolong pada sahabat pacarnya itu untuk kembali rujuk.

"Eh, tapi ... " Cindy melebarkan mata dengan pandangan nyaris tidak berkedip.  Baru ngeh akan satu hal. "Sharin kalo gak pergi ke rumah gue, emang bakal pergi ke mana lagi. Gak mungkin kan dia-"

Cindy menutup mulutnya yang menganga akibat tercengang oleh pikiran buruk yang tiba-tiba saja terlintas di benaknya. 

"G-gak mungkin apa?" Dani langsung serius. Menuntut ucapan Cindy yang dipotong sendiri. Berkedip dua kali, dia akhirnya dapat menyambung kalimat gantung Cindy tersebut. "Dia di rumah bokapnya?!"


"Heh?! Dani! Jangan ngadi-ngadi!" Cindy dengan cepat menampik, marah.

"Lo kayak kenal dia cuman sehari dua hari! Lo tau sendiri lah, Sharin itu anaknya nekat!" Nafas Dani memburu. Tampak luar biasa panik. Memukul meja kayunya itu, emosi. Menyalahkan diri, mengapa dia tidak terpikirkan hal itu sejak tadi.

Dani dengan cepat bangkit dari kursinya lalu mengantongi ponselnya—tergesa. Saat hendak keluar dari kelas dia bahkan tidak sadar kalau Cindy membuntutinya dengan raut tegang atas kecemasan tingkat tinggi.

"Dani, lo mau langsung ke sana?! Kalo gitu gue mau ikut!" Cindy tak berhenti mengambil langkah lebar, membuntuti Dani yang begitu terburu-buru. Langkahnya terhenti saat Dani berbalik lalu menatapnya intens bersamaan dengan gelengan kuat.

"Cindy. Sorry. Kalo untuk itu mending jangan dulu!" Dani mencoba membuat pengertian. "Ayahnya Sharin bukan sembarang makhluk. Gue yakin di sana, gue juga bakal cukup kelimpungan buat bawa kabur Sharin. Lo enggak perlu khawatir. Percaya sama gue kalau Sharin bakal baik-baik aja. Mending sekarang lo masuk, udah bell juga. Kalo tiba-tiba dikejar Pak Samsul urusannya bakal lebih ribet."

Take your Partner [Complete]√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang