Prolog

3.7K 369 56
                                    

Aku tak percaya bisa berada di situasi seperti ini, lagi. Seingatku ini sudah yang kedua kalinya dalam bulan ini. Aku tak mengerti apa yang salah pada diriku, atau apa yang salah dengan selera para anak laki-laki. Entahlah, tapi bagiku dari sisi mana pun, ini tetap saja membuatku jengkel. Seorang adik kelas mengajakku berkencan, lagi. Come on, adik kelas. Aku sepertinya telah menunjukkan penolakan terang-terangan pada pendekatan mereka. Sayangnya hal seperti ini harus terulang lagi.

Apa mungkin mereka memasang semacam taruhan dan yang bisa mengajakku berkencan adalah pemenangnya? Itu pikiranku yang paling liar untuk saat ini.

Oh, ayolah. Aku tak peduli pada hal-hal seperti itu sebenarnya. Karena bagaimana pun tak akan ada pemenang di antara mereka. Aku tak mengencani adik kelas. Walau adik kelas itu tampan sekali pun, seperti yang sedang berdiri di hadapanku sekarang.

"Jadi, jawabanku tidak." Aku memperhatikan kernyitan samar di antara alisnya yang indah dan berwarna gelap. Bukan salahku, kataku dalam hati. Jika yang satu ini sakit hati karena penolakanku, maka bukan salahku.

"Karena salah satu temanmu itu?"

Jinna, temanku, memang sedang naksir berat dengan laki-laki tinggi berkulit putih ini. Tapi bukan itu alasan utamanya. Lagipula Jinna selalu naksir berat dengan laki-laki berbeda setiap satu minggu sekali.

"Ya, karena itu," kataku sambil mengangguk serius. Aku mengerucutkan bibir sebelum menambahkan. "Dan karena aku tak memiliki perasaan semacam itu padamu."

Aku berusaha untuk tak merasa bersalah tapi aku mendapati kalau diriku tetap merasakannya. Hal itu membuatku lelah pada diri sendiri. Kenapa aku harus jadi orang baik pada saat seperti ini? Pemikiran yang sudah pasti akan dihadiahi cubitan dan dengkusan dari teman-temanku yang tak terima pujian pada diri sendiri itu.

Dia mengamatiku dan ekspresinya tampak geli.

"Apa?" Tanyaku dengan intonasi seperti orang yang sedang tersinggung.

Dia mengangkat bahu. "Biasanya para gadis akan menolak dengan, aku belum berpikir ke arah situ atau aku ingin serius belajar. Dan yang paling klasik, ada orang yang sedang aku sukai. Sedangkan kau..."

"... hanya tak tertarik padamu." Aku menyambung kalimatnya. Sepertinya dia bukan orang yang mudah tersinggung. Atau bisa jadi, dia mungkin terlalu tampan untuk sakit hati karena penolakan kakak kelas yang tak memiliki penyaring kata-kata.

"Jadi aku ditolak?"

Aku mengangguk sekali. "Ya."

Dia maju satu langkah dan aku baru sadar bahwa ia cukup tinggi untuk ukuran anak kelas sepuluh. Aku mengambil satu langkah mundur menjauhinya dan hal itu justru membuatnya terlihat terhibur. Aku sudah cukup berpengalaman untuk mewaspadai gerakan tak tertebak para laki-laki. Jika dia berani macam-macam, aku tak akan segan-segan menendang langsung ke selangkangannya.

Tapi dia tak melakukan apa-apa.

"Tanpa bertanya siapa namaku?"

"Aku tahu namamu," kataku. "Kaiser. Murata Kaiser." Tak mungkin aku tak tahu. Jinna menyebutnya setiap detik semingguan ini. Seolah-olah lelaki ini orang paling tampan sedunia. Yeah well, dia memang tampan. Tapi orang tampan tak hanya dia.

"Jadi kita tak perlu saling berkenalan lagi bukan, Leora?"

"Ya," jawabku lebih ramah. Lelaki ini, sangat tak terduga ternyata lumayan pengertian. "Hmm, kurasa aku harus pergi sekarang. Teman-temanku pasti sudah menunggu di gerbang."

Apanya yang sedang menunggu di gerbang? Lagipula kenapa juga aku harus mengatakan hal itu padanya.

Dia memperhatikan sekitar, lalu mengangguk. "Sampai jumpa lagi kalau begitu."

Dia melewatiku dan berjalan dengan langkah ringan menuju gerbang. Aku menggigit bibir seraya berbalik dan memperhatikan punggungnya hingga dia menghilang di antara gerombolan siswa yang berjejal meninggalkan sekolah.

00000

Akhirnya buku satu ini beneran jadi original fiction. Enjoy!

Yet to Me (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang