Bab 44

444 69 17
                                    

Raut wajah Leora terlihat sangat masam ketika kami semua masuk ke ruangan. Tidak lama, karena setelah itu ia seketika tersenyum, menyambut kami dengan sikap ramahnya yang menurutku agak menakutkan.

Iblis kecil itu, ia mungkin mengira bisa menipu orang lain dengan perubahan ekspresinya sedetik setelah kami melangkah masuk ke ruangan. Tapi bagiku yang sudah mengenalnya sangat dekat, bahkan senyumannya sekarang membuatku curiga.

Para orangtua sudah pulang sebelum Kaiser mempersilakan kami masuk. Beberapa detik setelah itu, dua kurir makanan datang dengan membawa beberapa pesanan yang langsung Kaiser letakkan di atas meja bulat yang dilengkapi dua kursi tanpa sandaran.

"Silakan dinikmati," ujar Leora, mengangguk ketika Kaiser menawarkan untuk mengubah posisi tempat tidurnya hingga Leora bisa duduk.

Semua orang yang baru masuk hanya bisa terdiam karena kehilangan kata-kata dengan apa yang Kaiser lakukan selanjutnya. Pria dengan tubuh besar dan penampilan mengintimidasi itu menarik meja yang tersambung dengan tempat tidur Leora, meletakkan sekotak donat sambil melemparkan senyuman lembut.

Kurasa Kaiser sudah melupakan keberadaan orang lain di ruangan ini karena terlalu fokus dengan Leora. Pria itu bahkan membantu Leora mengenakan sarung tangan plastik sebelum Leora mengambil satu buah donat dengan topping cokelat dan kacang almond. Dan yang lebih gila, Leora menawarkan gigitan pertama donatnya untuk Kaiser sebelum mulai menikmatinya sendiri.

"Ini pertama kali bagiku merasa seperti tembok ruangan." Perhatianku seketika tertuju pada orang yang baru saja berbicara. Kiho, jika aku tak salah mengingat. Seorang detektif yang ternyata merupakan salah satu kenalan Kaiser. Mungkin tak bisa disebut hanya kenalan saja karena mereka berdua terlihat cukup akrab.

Apapun itu, aku sangat mendukung Kiho saat ini. Pasangan mabuk cinta di hadapan kami ini harus disadarkan kalau mereka tak hanya sedang berdua saja di ruangan. Ada lima orang termasuk aku yang harus menahan diri agar tak mengumpat keras menyaksikan drama cinta-cintaan mereka berdua.

"Kau mengumpatiku." Leora menyipitkan mata padaku saat mengatakan itu.

"Ha?" Aku memutar mata. "Kau ini masih saja mengajakku bertengkar bahkan saat sedang menjadi pasien. Dan aku sama sekali belum mengatakan apapun sejak tadi."

"Tak perlu mendengar apapun darimu untuk bisa menebak isi hatimu," katanya tak masuk akal. "Kau mengumpatiku dengan tatapanmu. Tak mungkin juga kau tak mengumpatiku di dalam hati."

Aku baru akan menjawab perkataan Leora ketika tatapanku bersirobok dengan pengawalnya yang menakutkan. Kaiser berdiri di sana, menatapku dengan aura mengintimidasi yang membuatku nyaris mengumpat, lagi. Mereka seharusnya merasa beruntung karena aku sedang berbesar hati sekarang.

"Tak bisa dipungkiri, aku menyebutmu bodoh di dalam hati." Aku mengakui dengan terus terang. "Tak ada orang cerdas yang akan pulang ke tempat tinggalnya sendirian padahal masih berada dalam ancaman seorang kriminal sadis."

"Rai..." Kaiser mulai berbicara.

"Memang benar," sela Leora sambil menundukkan kepala. Memasang ekspresi sedih yang membuat Kaiser menatapku semakin tajam.

"Huh?" Aku melemparkan tatapan tak percaya pada Leora.

Bukan berarti aku tak merasakan simpati sedikit pun dengan apa yang terjadi pada dirinya. Tapi aku sudah pernah ditipu berkali-kali dengan sikapnya yang semacam ini, membuatku harus mendengarkan omelan ibuku yang mengatakan kalau aku pria jahat karena bisanya hanya menyakiti Leora yang sangat manis.

Manis? Lihat saja, ia pasti akan menunjukkan sifat aslinya sebentar lagi.

"Aku memang sangat bodoh," lanjut Leora lagi dengan intonasi yang akan membuat siapa pun tertipu, selain aku tentu saja. "Aku tak sabar ingin bertemu dengan Kaiser hingga melupakan fakta kalau Furutani mungkin saja dibebaskan."

Yet to Me (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang