Bab 43

406 70 28
                                    

Kiho meneleponku untuk memberitahu kalau Furutani sudah dibebaskan setelah lewat empat puluh delapan jam. Itu artinya para detektif tak menemukan bukti langsung atas keterkaitan Furutani dengan kelompok The Phoenix Rose tersebut.

Pada awalnya aku tak merasa begitu khawatir. Leora sedang berada di rumah orangtuanya sampai besok. Tipis sekali kemungkinan bagi Furutani untuk bertindak impulsif dengan mencari latar belakang Leora, meski kemungkinan itu juga tak bisa diabaikan. Makanya ketika ayah Leora meneleponku dan memberitahu kalau Leora sudah pulang ke flatnya, itu terasa seperti petir di siang bolong bagiku.

"Kenapa anda membiarkan Leora pulang begitu saja?" Aku nyaris saja membentak ayah Leora sementara aku berlari keluar gedung pemadam kebakaran.

"Ada apa?" Suara ayah Leora terdengar khawatir. Aku juga mendengar beliau tercekat saat aku tak langsung menjawab pertanyaannya. "Apa orang itu dibebaskan?"

"Ya," jawabku singkat.

Aku sudah berkendara ke jalan utama ketika menjawab pertanyaan yang sudah jelas jawabannya tersebut. Amarahku dikalahkan oleh rasa khawatir yang membuatku memikirkan hal-hal buruk yang akan terjadi jika Furutani sampai bertemu Leora di gedung tempat tinggal kami.

"Saya sedang menuju kesana," ujarku memberitahu dengan nada terburu-buru. Aku mengembuskan napas dengan kasar, mengusap wajahku sebelum melanjutkan perkataanku. "Anda sebaiknya datang juga."

"Aku juga sedang berkendara kembali kesana," balas ayah Leora, terdengar sama khawatirnya dengan diriku sendiri.

Aku memutus percakapan kami setelah aku sampai di parkiran gedung flat kami. Turun dengan tergesa, aku merasa tak sabaran menunggu pintu lift yang tak kunjung terbuka. Aku juga terus-menerus mencoba menelepon Leora dan tak mendapat jawaban sama sekali. Itu membuatku kian khawatir karena Leora nyaris tak pernah tak menjawab teleponku sama sekali sesibuk apapun dirinya.

Sesuatu yang membuatku nyaris mengutuk keras sekaligus lega adalah, aku bertemu dengan Leora tepat setelah aku keluar dari balik pintu darurat. Jejak darah yang berasal dari kakinya terlihat jelas di belakangnya. Luka yang mengeluarkan darah dari pahanya juga membuatku hampir berteriak dan menuju flatnya, atau mana pun, tempat orang yang menyakitinya berada.

Tapi Leora sedang terluka. Ia juga terlihat begitu ketakutan. Tubuhnya bergetar hebat, dan ia terus-menerus menangis ketika aku mendekap tubuhnya.

Aku sudah menelepon polisi dalam perjalanan kemari, tapi aku tetap saja meminta penghuni yang tak sengaja melihat kondisi ini untuk menelepon polisi lagi. Furutani mungkin masih bersembunyi di flat Leora. Atau pria itu pingsan setelah—menurut ucapan Leora sebelum jatuh pingsan—Leora menusuk matanya dengan pisau. Apapun itu, Leoralah yang paling penting sekarang ini.

Aku turun dengan menggunakan lift kali ini, bertemu dengan ayah Leora dan para detektif di lobi, termasuk Kiho yang tekejut setelah melihat kondisi Leora saat ini.

"Ada ambulans di luar," beritahu Kiho sebelum mengikuti para rekannya ke arah lift. Beberapa detektif tampak mengarah ke tangga darurat saat aku menoleh ke belakang.

"Leora..."

Raut bersalah dan khawatir tercetak jelas di wajah ayah Leora, dan itu membuat kemarahanku pada pria paruh baya itu memadam seketika. Pria yang selalu terlihat tegas itu kini dengan lemas berjalan di sebelahku, tak mengatakan apapun karena sedang merasa terkejut dengan situasi di depan matanya.

Tentu saja. Anak yang tadi ia antar dalam keadaan sehat, kini sedang tak sadarkan diri dengan beberapa luka dan darah yang menempel dimana-mana di tubuhnya.

"Ia hanya pingsan," beritahuku sembari membaringkan Leora pada brangkar yang disediakan oleh petugas ambulans.

Ia segera diberikan pertolongan pertama. Luka di telapak kakinya dengan segera dibersihkan. Sapu tanganku yang digunakan untuk menutup lukanya tadi dilepas, segera digantikan dengan perban yang lebih bersih. Tapi ia sama sekali tak terbangun dalam proses itu.

Yet to Me (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang