Bab 5

1K 230 21
                                    

Pada akhir pekan selanjutnya, Kaiser mengajakku untuk berkunjung ke rumah orang tuanya yang langsung kutolak sambil melemparkan tatapan menyesal padanya.

Kami memang sudah berkencan cukup lama. Setidaknya dari pihakku, hubunganku kali ini sudah bertahan sangat lama tanpa sekali pun ada perasaan bosan saat aku menjalaninya.

Kaiser adalah pacar terbaik. Aku tak tahu harus bagaimana aku mengatakannya, ia terlampau bagus untuk menjadi nyata. Kami mungkin berdebat di banyak waktu karena sifat yang bertolak belakang, tapi perdebatan itu tak pernah mengarah pada pertengkaran.

Ada banyak waktu ketika aku merasa sangat takut dengan perasaanku yang semakin lama semakin membesar untuknya. Hari-hari ketika aku menolak ungkapan cintanya sudah terasa sangat jauh. Namun aku mengingatnya sebagai sebuah kenangan lucu yang bisa kugunakan saat aku ingin menggodanya.

Aku sangat serius dalam menjalani hubungan ini, walau sulit bagiku untuk mengakui hal itu sebelumnya. Tapi berpikir untuk menemui orang tua pria yang kukencani di masa-masa remaja membuatku cukup panik. Apalagi dengan semua perasaan menggebu-gebu yang kumiliki terhadap Kaiser, memikirkan apabila aku tak disukai oleh keluarga pria itu membuat mentalku menciut.

Padahal aku bukan orang semacam ini sebelumnya. Aku selalu menikmati masa remajaku dengan santai dan berani, sampai saat ini.

"Aku sudah menceritakan sedikit tentang hubungan kita pada mereka." Kaiser menjelaskan dengan nada yang biasa-biasa saja. Pria itu tak terlihat kecewa karena penolakanku tadi. "Tapi jika kau masih menganggapnya terlalu cepat, kita bisa melakukannya nanti. Masih banyak waktu untuk itu."

Aku menatap Kaiser, lagi-lagi dengan perasaan takjub yang teramat sangat. Ia pria muda paling dewasa yang pernah aku temui. Walau cukup kolot, sedikit pemaksa di awal-awal hubungan kami, dan teramat sibuk sekarang ini, Kaiser yang sekarang jauh lebih dewasa dari Kaiser yang kukenal di kelas sebelas.

"Terima kasih atas pengertianmu," kataku sambil melemparkan senyuman lebar padanya. "Kau ini ternyata sangat baik!"

Kami memutuskan untuk hanya berjalan-jalan sambil bergandengan tangan. Udara tak terlalu dingin juga tak terlalu panas. Jadi kami bisa mengenakan pakaian yang kami sukai sebebasnya.

Kaiser mengenakan kemeja lengan pendek berwarna putih yang dilampisi oleh vest rajut berwarna hijau, dan celana jeans berwarna hitam. Sementara aku mengenakan blouse putih longgar berkerah dengan pita tali kecil di bagian kerah, dan rok Kinee yang sewarna dengan vest yang Kaiser kenakan.

Kami tentu saja merencanakan seragam pasangan untuk kencan ini sama seperti yang kami lakukan pada kencan-kencan sebelumnya. Sangat menyenangkan menunjukkan hubungan kami pada dunia tanpa harus mengatakan apa-apa. Sesuatu yang kupikirkan sendiri ini terkadang juga membuatku cukup malu. Tapi begitu rasa malu itu memudar, aku kembali berpikir untuk melakukan hal-hal semacam ini lagi.

"Aku selalu baik," kata Kaiser sambil menyipitkan mata. "Kenapa kau baru menyadarinya sekarang?"

Aku tertawa. "Kau menjadi lebih baik setiap harinya hingga membuatku cukup was-was," kataku dan segera menyesal setelah mengungkapkan perasaan cemburu seterang itu. Aku yakin Kaiser bisa menangkap maksudku dengan jelas karena pria itu sangat peka.

Dan tebakanku memang benar, karena Kaiser sekarang menatapku sambil mengulum senyum. Satu alis pria itu terangkat tinggi. Kaiser juga menahan tanganku agar aku berhenti melangkah dan tak bisa menghindar dari pertanyaan yang pria itu ajukan sebentar lagi.

"Jadi kau memang cemburu," goda Kaiser dengan nada puas. "Tunggu sebentar. Kurasa kau sedang cemburu berat. Apa kau juga cemburu dengan para perempuan yang sering terlihat bersamaku?"

Yet to Me (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang