Bab 4

1.2K 228 17
                                    

Hari pertama di tahun ketiga SMA dimulai di musim semi yang indah. Aku sudah mengumpulkan kelopak-kelopak bunga Leora yang kutemukan di jalanan menuju sekolah, memasukkannya ke dalam tas lipat tambahan yang memang sengaja kubawa untuk hari ini.

Nanti aku akan menyebarkannya di ruang latihan untuk menyambut para anggota baru klub drama kami. Lalu setelah itu, para junior yang sudah kami sambut akan kusuruh membersihkan bunga-bunga yang terserak itu setelahnya.

Kesabaran itu hal yang penting. Aku merasa sudah melakukan hal yang baik dengan tes masuk klub yng lebih mudah dibanding sebelumnya. Sekarang menjadi aneh bukan satu-satunya syarat untuk bergabung ke dalam klub. Syarat lainnya adalah, sabar.

Bukan apa-apa. Anggota klub terkadang berlebihan dalam bercanda. Ada yang tak bisa berhenti mengganggu anggota lain hanya karena ia sedang bosan. Lalu mereka akan bergulingan di lantai, mengotori seragam mereka.

Lalu ada lagi yang berbicara dengan nada seperti pemain drama sepanjang waktu. Terkadang orang itu berteriak, berbisik, terlihat terlalu bersemangat saat sedang berbicara di waktu normal. Alasannya mudah ditebak, ia hanya ingin berlatih agar penampilannya bisa sempurna di pentas selanjutnya.

Aku menggelengkan kepala. "Rasanya hanya aku yang normal di dalam klub itu," omelku sementara mendorong kelopak bunga Leora di tas agar bisa memasukkan lebih banyak.

"Apa yang sedang kau lakukan?" tanya seseorang dari arah belakangku.

"Apa kau tak bisa lihat? Aku sedang mengumpulkan bunga untuk penyambutan," jawabku, menepuk-nepuk rokku sementara berdiri.

Tas sudah dipenuhi oleh bunga Leora. Aku tersenyum senang sebelum berbalik ke arah Kaiser yang sedang menatapku dengan raut wajah terhibur. Aku tak melihatnya saat aku berjalan tadi. Berarti ia baru saja menyusulku mungkin setelah melihatku dari jauh.

"Penyambutan?" Kaiser melirik tas yang menggembung di tanganku, lalu melihat tepat ke mataku sebelum melangkah lebih dekat.

Tubuh pria itu bertambah tinggi hanya dalam waktu beberapa bulan. Aku juga bertambah tinggi. Tapi kurasa akan sulit bagiku untuk menyusul tinggi Kaiser ke depannya karena tubuhku hanya naik satu sentimeter dalam beberapa bulan ini.

Aku melemparkan rengutan padanya. Jika Kaiser terus bertambah tinggi seperti ini, aku tak tahu akan sepegal apa leherku saat harus menciumnya. Pemikiran yang sedikit random itu memenuhi isi kepalaku karena ia tak melakukan lebih dari ciuman di pipi sejak kami berkencan awal Agustus lalu.

Sekarang sudah bulan April. Aku menghitung sebentar. Artinya kami sudah berkencan selama kurang lebih enam bulan. Dalam waktu selama itu, kami hanya berkencan secara normal seperti mengunjungi taman bermain, menonton bioskop, melihat festival kembang api dan berjalan-jalan sambil bergandengan tangan.

Aku mengerutkan dahi. Kaiser yang dulu mengikutiku kemana-mana dan menunjukkan rasa cintanya secara terang-terangan tanpa memikirkan keadaan sekitar ternyata lebih berhati-hati dan pasif saat kami sudah benar-benar berkencan.

"Klub akan merekrut anak baru lagi tahun ini," kataku setelah menolak saat Kaiser ingin membawakan tas berisi bunga Leora di tanganku. "Aku akan menyambut mereka dengan melemparkan bunga yang kukumpulkan."

"Melemparkan maksudmu, adalah menumpahkannya langsung ke atas kepala mereka bukan?" tanya Kaiser dengan satu alis terangkat tinggi.

Aku berpikir sejenak. Sebenarnya aku belum benar-benar berpikir bagaimana harus melakukannya. Aku hanya secara acak memunguti bunga-bunga berwarna merah muda itu karena merasa sayang melihatnya terinjak-injak di jalanan.

"Kau datang sangat pagi," komentarku untuk mengalihkan pembicaraan.

"Bukankah usahamu mengalihkan pembicaraan tampak terlalu jelas?" sindir Kaiser.

Yet to Me (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang