Bab 22

560 102 47
                                    

Aku sudah selesai bersiap untuk pendakian kali ini dan tersenyum lebar begitu melihat Kaiser yang juga baru menutup pintu flatnya. Semakin lama kami terasa seperti tinggal di satu flat yang sama karena intensitas pertemuan kami. Belum lagi dengan kenyataan kalau Kaiser menginap di flatku tadi malam dan baru pulang ke flatnya sendiri sekitar satu jam yang lalu.

Kami tidur bersama pada akhirnya. Tapi bukan tidur bersama dalam artian yang semacam itu. Kami hanya tidur—bersama—di atas tempat tidur yang sama sembari berpelukan. Namun sama sekali tak ada yang terjadi sebelum atau setelahnya. Kaiser sepertinya kembali menjadi pria konservatif yang menjengkelkan sekaligus membuatku berdebar.

Tak ada ciuman panas. Tak ada sentuhan menggoda. Alih-alih Kaiser--sambil terkekeh—hanya mengecup dahiku sebelum dan setelah bangun tidur seolah kami sudah melakukan sesuatu yang berarti saja.

Bukan berarti yang kami lakukan dan bicarakan tadi malam sama sekali tak berarti. Maksudku, Kaiser bertingkah laku seperti seorang suami tua yang sudah menikahiku selama bertahun-tahun. Yang tersisa dalam pernikahan semacam itu adalah keterbiasaan dan kenyamanan, bukannya hasrat yang menggebu-gebu.

Aku menghela napas setelah memikirkannya dengan cara seperti itu.

Apalagi yang harus kulakukan agar Kaiser kehilangan kendali seperti saat dua ciuman sebelumnya?

Cara itu aku harus mencarinya; percikan masalah yang membuatnya berada pada batas dimana ia tak memiliki pilihan lain kecuali menyentuhku. Oh tidak. Sekarang aku benar-benar terdengar seperti wanita mesum yang begitu kehausan atas sentuhan pria. Bukan sembarang pria, melainkan satu-satunya pria yang membuatku menjadi begitu frustrasi seperti ini.

Sebuah misi. Aku harus menamakan misi ini agar terdengar lebih keren dan menunjukkan betapa seriusnya aku mengenai hal ini. Berpikir sejenak, aku sambil merengut mengikuti Kaiser yang mulai berjalan ke arah lift.

Misi Sentuhan. Kurasa nama ini yang paling sesuai dengan kondisi kami saat ini. Tentu saja! Aku sangat pintar menamai hal-hal semacam ini, pujiku pada diri sendiri.

"Apa kau begitu senang karena kita akan mendaki?" tanya Kaiser setelah kami berada di dalam lift. "Atau kau sedang memikirkan sesuatu yang aneh lagi? Kendalikan raut wajahmu, Leora."

"Memangnya apa yang salah dengan raut wajahku?" tuntutku sambil menyenggol bahu besarnya dengan bahuku yang lebih kecil. Aku juga harus berjinjit untuk melakukannya. "Aku sedang merencanakan hal-hal penting untuk masa depan kita," tambahku dengan nada serius.

Kami sudah keluar dari lift dan kini berjalan menuju mobil Kaiser yang terparkir di basement. Kaiser membantuku memasukkan ransel mendakiku ke bangku belakang, membukakan pintu untukku, melindungi kepalaku begitu aku akan masuk ke dalam mobil. Sikap gentleman itu memang mengesankan. Tapi tetap saja ada yang kurang. Memang tak ada manusia yang sempurna, kataku di dalam hati sambil menggelengkan kepala

Ternyata apa yang kulakukan tak lepas dari perhatian Kaiser. Ia melirik padaku dengan alis yang bertaut. Melemparkan tatapan penuh tanya sebelum menghela napas dengan sikap memahami yang menjengkelkan.

"Bagaimana jika ternyata aku tak kuat mendaki?" tanyaku. Pemikiran itu tiba-tiba saja muncul di kepalaku. Baru saja, disaat kami sudah dalam perjalanan untuk ke sana. "Bukankah itu akan sangat merepotkanmu?"

"Kenapa bisa seperti itu?" tanya Kaiser balik.

Aku memandangi wajahnya, menilai sikapnya apakah sudah sesuai dengan pertanyaan yang tadi ia ajukan. Lalu aku tersenyum karena ternyata ia benar-benar memaksudkannya. Aku memahami kalau Kaiser memang menyayangiku. Tapi ini dan itu 'kan lain hal. Aku tak mau ia merasa sebal karena aku merepotkan.

Yet to Me (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang