Bab 2

1.5K 263 24
                                    

Kamis adalah hari terindah dalam hidupku.

Aku mengatakan ini bukan tanpa alasan. Kamis adalah hari dimana aku bisa berkumpul dengan orang-orang yang tak akan menganggapku aneh bahkan ketika aku tiba-tiba saja menangis, lalu tertawa terbahak-bahak. Aku akan mengangkat tanganku tinggi-tinggi, menggerak-gerakannya ke sembarang arah dan mulai menari. Aku akan mengibaskan rambut, menggoyang pinggul; dua kali ke kanan dua kali ke kiri. Aku akan melakukannya sambil menyenandungkan lagu yang tak sesuai dengan gerakan tubuhku. Aku akan melakukan apa saja tanpa harus merasa malu.

Kumpulan orang-orang sinting, julukan yang orang-orang berikan pada kami. Tapi kami lebih suka menyebutnya, bebas berekspresi.

Lagipula kami sudah menunjukkan prestasi yang tak bisa diremehkan. Juara satu pagelaran teater antar sekolah, juara satu antar wilayah, juara dua antar kota. Yang terakhir mungkin bisa lebih baik jika salah satu anggota kami yang memerankan karakter utama waktu itu tidak sembarangan latihan di pinggir jalan dan terkilir karena dengan konyolnya menendang trotoar yang ia bayangkan sebagai tumpukan kardus alat peraga.

Aku selalu menarik napas keras tiap kali mengingat hal itu. Bukan karena aku sangat peduli dengan juaranya. Sejujurnya, aku lebih peduli dengan uang yang kami dapat. Aku menghela napas. Sekarang aku mulai mempertimbangkan pandangan orang-orang. Mungkin sebagian dari kami memang sinting. Atau mungkin semuanya. Tapi kalau dipikir-pikir, rasanya tak mungkin orang sinting sungguhan mengakui kalau diri mereka sinting. Jadi kurasa, aku tidak sinting.

Helaan napas lagi. Helaan yang bisa kuartikan sebagai rasa berpuas diri dengan kesimpulan yang kubuat sendiri.

Ruang latihan sudah dipenuhi para anggota. Jumlahnya tak lebih dari dua puluh orang. Ini bukan karena komunitas kami tidak tenar di sekolah ini. Tapi karena penyaringan untuk menjadi anggota komunitas terlampau sulit untuk dilewati sebagian besar orang. Syarat pertama, kau harus aneh. Syarat kedua, kau harus aneh. Syarat ketiga, kau harus aneh. Aku tak merasakannya sama sekali. Tapi menurut orang-orang, menjadi aneh itu sulit.

Aku mengangkat bahu. Lebih dalam artian tak peduli, masa bodoh, blah blah blah.

Tapi kenapa ruangan ini ramai sekali hari ini?

Aku baru saja akan berjalan ke tengah ruangan ketika tetiba saja atensiku mendapati orang-orang yang familiar sedang berada di sana. Salah satu dari orang-orang itu teramat familiar hingga aku tak bisa melepaskan tatapanku darinya.

Apa yang sedang dilakukan Murata Kaiser di sini?

Dan kenapa dia selalu berada dimana-mana belakangan ini?

Aku mulai curiga itu adalah caranya untuk mendapatkan perhatianku. Sekarang aku membayangkan Karin memukul kepalaku dengan salah satu kotak kosmetik terbarunya. Dan sialan Karin! Dia pasti akan lebih mengkhawatirkan benda itu dibanding kepalaku.

Di antara jalan pikiranku yang mulai mengarah kemana-mana, aku melihat Nami, sang Wakil Ketua Komunitas tahun ini, melenggang ceria mendekatiku.

"Apa yang sedang mereka lakukan di sini?" Aku bertanya tanpa repot-repot menjelaskan siapa mereka yang kumaksud. Di depan sana, kumpulan Kaiser –aku malas menyebutkannya satu-satu– sedang berperilaku seolah-olah mereka tukang bangunan. Aku jelas tahu apa yang sedang mereka lakukan. Tapi kenapa?

Nami mengangkat bahu dan menunjukkan cengiran puas. "Kau tahu ketua, sebagian besar alat peraga kita rusak setelah penampilan terakhir kali," mulainya. Aku mengangguk. "Kita jatuh miskin karena terlalu banyak menghabiskan uang kas untuk membeli makanan saat latihan." Aku mengangguk lagi. Itu sudah biasa. Kami sudah terbiasa jatuh miskin. Makanya aku bilang uang hadiah itu lebih penting dari gelarnya. Lagipula piala tak ada gunanya bagi kami. Hanya sebagai pajangan untuk menunjukkan ego kepala sekolah.

Yet to Me (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang