Bab 34

449 78 36
                                    

Kaiser tak memiliki jadwal piket malam hari ini. Jadi setelah kami menyelesaikan tugas terakhir untuk jadwal kerja hari ini, kami memutuskan untuk menikmati makan malam di luar sebelum pulang ke rumah.

Udara masih terasa hangat saat kami keluar dari restoran, tapi mendadak hujan begitu kami—untungnya—sudah berada di dalam mobil. Hujan di musim panas memang seringkali turun secara tiba-tiba seperti ini. Oleh karena itu, melihat orang-orang yang berlalu-lalang membawa payung di dalam tas atau di tangan mereka bukan hal aneh lagi.

Aku memendangi rintik-rintik hujan yang perlahan turun semakin deras dari balik jendela kaca mobil. Kaiser berkendara dengan lebih santai, begitu berhati-hati hingga tak akan ada yang berpikir kalau ia sebenarnya adalah salah satu petugas pemadam kebakaran yang terbiasa dengan kecepatan.

"Bagaimana bisa kau terus mempertahankan kecepatan semacam ini padahal sudah terbiasa dengan kecepatan tinggi mobil pemadam kebakaran?" Aku bertanya sembari menatap lurus ke arah jalanan di depan kami.

Kebanyakkan waktu kami mengobrol dihabiskan dalam perjalanan dari dan ke kantor pemadam kebakaran, atau ketika kami sedang makan bersama secara bergantian di flat Kaiser atau pun di flatku. Oh, atau ketika kami sedang tak terlalu lelah dan memutuskan untuk menonton film sembari menikmati camilan.

Sebenarnya aku menginginkan waktu mengobrol berkualitas di atas tempat tidur, saling berangkulan seperti yang pernah kami lakukan. Tapi aku tak pernah lagi mengungkit hal semacam itu karena aku tak yakin bisa melewatinya tanpa membuat diriku sendiri malu sebesar apapun keinginanku untuk melakukannya.

"Orang-orang akan langsung memberi jalan begitu melihat atau mendengar sirine mobil pemadam kebakaran karena memang seperti itulah aturannya," jawab Kaiser. "Tapi tak akan ada yang memberi jalan dengan sukarela saat kita mengendarai mobil pribadi. Jadi berkendara dengan kecepatan tinggi bisa menjadi sangat membahayakan bagi kita atau bagi orang-orang yang berkendara di jalanan yang sama serta waktu bersamaan dengan kita."

Pria ini begitu serius dengan jawabannya hingga aku tak bisa mengatakan sesuatu untuk mendebatnya. Apa yang ia katakan memang benar adanya, seperti biasanya, dan aku mulai merasa bersalah karena seringkali berkendara di jalanan utama dengan kecepatan yang cukup tinggi.

"Kau harus belajar untuk berkendara dengan lebih santai," ujar Kaiser menasihatiku. "Walau tak secara ugal-ugalan, tapi kecepatan yang kau pertahankan itu bisa saja membuatmu dikejar oleh petugas polisi suatu hari nanti.

Aku tentu saja menutup mulutku rapat-rapat, berusaha keras untuk tak mengatakan kalau aku memang beberapa kali harus membayar tilang karena kecepatan berkendaraku yang melebihi dari peraturan resmi. Kaiser tentu saja belum mengetahuinya karena itu terjadi saat aku masih bekerja di rumah sakit.

Berkendara dengan kecepatan tinggi memang memberiku kepuasan yang tak masuk akal. Belum lagi aku bisa sampai ke tempat tujuanku dengan lebih cepat. Aku tak begitu suka berada di perjalanan yang panjang seorang diri sampai aku sering membayangkan jika pintu kemana saja itu memang ada, aku akan membelinya berapa pun uang yang harus kukeluarkan. Sayangnya pintu semacam itu mungkin tak akan pernah ada di dunia nyata.

"Aku memang sedang berusaha untuk mengubah kebiasaan berkendaraku." Aku mengakui dengan nada keberatan. "Tapi ternyata itu sangat sulit untuk dilakukan karena terus saja membuatku merasa begitu frustrasi. Kau tahu sendiri aku tak suka membuang-buang waktu."

"Tapi kau tak pernah terlihat begitu keberatan dengan kecepatan berkendaraku," imbuh Kaiser.

Aku mengerling padanya. "Tentu saja," kataku yakin. "Aku sangat menikmati setiap waktu yang kita habiskan bersama. Terkadang aku merasa bersyukur ketika kita tiba ke kantor dengan lebih lambat padahal jarak flat kita ke kantor bisa ditempuh dengan berjalan kaki saja."

Yet to Me (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang