Bab 50

418 76 22
                                    

Berjalan-jalan sambil bergandengan tangan. Terakhir kali kami melakukan itu sekitar satu bulan yang lalu. Sebenarnya itu tak bisa dikatakan kencan karena kami berjalan kaki dari dan ke pusat kebugaran.

Namun tak menyebutnya kencan juga salah. Sama seperti ketika kami pergi ke pusat kebugaran bersama, sekarang juga kami hanya berjalan bergandengan tangan sambil membicarakan topik-topik yang sangat acak.

"Ini sangat menyenangkan," kataku pada Kaiser.

"Belum lama kau mengeluh lelah karena harus berjalan-jalan seperti ini," komentar Kaiser, terkekeh begitu aku mencoba memisahkan genggaman tangan kami.

Ia terlihat begitu relaks dengan pakaian kasualnya; jeans hitam panjang dan atasan kaus putih yang dilapisi dengan kemeja lengan pendek berwarna hijau tua. Kami mengenakan sepatu olahraga berwarna putih yang kami pilih dan beli bersamaan di salah satu toko online langganan kami.

Bekerja seharian dengan satu hari libur dalam satu minggu tak memungkinkanku untuk pergi ke mall hanya untuk membeli pakaian. Lagipula menurutku itu membuang-buang waktu dan melelahkan. Semua yang kami butuhkan tinggal kami pilih dan pesan melalui ponsel dan diantarkan dalam beberapa jam, atau satu hari paling lama. Itu lebih praktis dan hemat energi.

Omong-omong soal pesan antar. Aku segera menoleh pada Kaiser yang kini menunduk dengan raut wajah penasaran.

"Nanti saat kita berjauhan, aku akan mengirimimu makanan atau yang lainnya," kataku padanya. "Kau juga harus melakukan hal yang sama ya."

"Tapi kita bisa memesannya sendiri-sendiri," tanggapnya dengan raut wajah tak bersalah.

Aku menyipitkan mata, menilai ekspresi yang sedang ia tunjukkan saat ini, dan tak tahan untuk tak tersenyum setelah menyadari kalau ia sedang menggodaku saja. Lagipula Kaiser tak mungkin tak menyadari maksud dari permintaanku itu. Mendapatkan kiriman paket yang dialamatkan padaku atas namanya, membayangkan itu saja sudah sangat menyenangkan.

Ia akan memikirkanku saat ia memakannya jika itu paket makanan, atau ketika ia memakainya, jika itu bukan makanan.

"Kau akan memulai pendidikanmu dalam satu bulan dua minggu bukan?" Kaiser bertanya juga pada akhirnya.

"Ya. Aku akan berangkat dalam dua hari untuk mencari flat sewaan baru," jawabku sambil menjelaskan rencanaku ke depannya.

Ia biasanya sangat perhatian bahkan untuk hal paling remeh sekalipun. Menyadari kalau ia sangat jarang membicarakan tentang kepindahanku membuatku berpikir mungkin saja ia merasa lebih kehilangan daripada yang kuduga. Ini membuatku senang juga sekaligus sedih. Sudah satu tahun kami tinggal berdekatan bahkan bersama di bulan terakhir kontrakku. Memikirkan akan berjauhan dengannya membuatku merasa kesepian bahkan sebelum itu terjadi.

"Bagaimana jika dalam empat hari?" Ia bertanya lagi. "Aku libur dalam empat hari dan bisa mengantar serta menemanimu mencari tempat sewaan barumu. Bukankah itu lebih baik daripada pergi sendirian?"

"Ya, aku tak bisa membantah yang itu," tanggapku. "Tapi itu akan memakan waktu. Belum lagi dengan perjalanan yang cukup menyita waktu. Aku mungkin harus menginap di hotel untuk satu malam jika belum mendapatkan tempat yang cocok. Sedangkan kau harus bekerja keesokan paginya."

"Aku bisa mengambil cuti," ujarnya enteng. Jika aku tak begitu mengenalnya, aku tentu tak akan begitu terkejut. Cuti dan Kaiser tak pernah berteman baik. Ia saja selalu tetap bekerja walau merasa kurang enak badan.

"Kaiser, kau akan segera menjadi kepala cabang di kantor. Tidakkah agak riskan jika kau mengambil cuti sekarang-sekarang ini?" tanyaku. Tak mau menjadi penghalang dalam karir cemerlangnya di kantor pemadam kebakaran yang ia cintai.

Yet to Me (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang