Bab 46

447 71 19
                                    

"Itu Irina," beritahuku pada Kaiser yang tampaknya sedang berjalan terburu-buru di seberang sana. "Haruskah aku membuka pintu?"

Kaiser tak menjawab untuk beberapa waktu. Aku terus memandangi layar interkom, mendapati kalau Irina ternyata berdandan sama mewahnya dari terakhir kali ia datang ke flat Kaiser dulu sekali. Aku tak pernah bertemu wanita itu lagi setelah pertemuan yang membuatku sedikit malu itu.

Irina adalah psikiater Kaiser. Itu artinya Irina bisa saja lebih mengenal Kaiser daripada aku. Aku pernah menanyakan pada Rai mengenai hubungan Rai dengan Irina, yang Rai jawab dengan ringisan masam dan raut wajah waspada. Walau kemungkinan kalau mereka berdua tak pernah berkencan itu kecil, tapi aku tetap saja berharap itulah yang terjadi.

Akan sangat canggung jika memang mereka pernah berkencan, lalu mereka bertiga; Irina, Mitsuru, dan Rai bertemu di pesta pernikahanku dan Kaiser nantinya. Aku juga tak mau Mitsuru harus menghadapi hal semacam itu walau sebenarnya itu tak bisa dihindari mengingat seperti apa masalalu Rai dan berapa banyak wanita yang pernah ia kencani.

"Kaiser, haruskah aku membuka pintu?" ulangku dengan suara yang lebih keras.

"Kau mau membuka pintu?" Kaiser bertanya balik. "Kau tak harus membukanya jika tak mau, Leora."

Ini tanggapan yang tak terduga. Aku tak tahu Kaiser bisa memperlakukan psikiaternya dengan cara seperti ini. Walau bagaimana pun, Irina adalah salah satu orang yang berjasa atas kesehatan mental Kaiser selama bertahun-tahun.

"Aku tak keberatan," ujarku kemudian. "Jadi aku boleh membuka pintu karena aku tak keberatan?" tanyaku lagi meyakinkan diri.

"Ya, tentu saja," jawab Kaiser. "Kau juga boleh mengusirnya jika kau tak suka. Ia bukannya tamu yang kita undang. Ia datang tanpa pemberitahuan."

"Kaiser? Kau sadar kau terdengar agak tidak sopan sekarang ini bukan?" Aku bertanya heran. Ini benar-benar tak biasa. "Seingatku ia adalah psikiatermu."

"Ya memang," jawab Kaiser singkat.

Aku menggelengkan kepala, menekan tanda open, dan menunggu sampai Irina masuk ke dalam flat ini.

Ia terlihat terkejut dengan keberadaanku di flat Kaiser, terlihat jauh lebih tak nyaman dari terakhir kali kami bertemu dulu. Langkah kakinya juga berhenti. Ia menatapku seolah menunggu izinku sebelum melangkah masuk dari lorong pintu depan.

"Eh hai?" sapanya dengan senyuman ramah. Mengubah mimik canggung itu menjadi sesuatu yang terkesan lebih akrab. Sesuai dengan profesinya, ia tampaknya mampu membaca situasi dan memperlakukanku seperti nyonya rumah. Ini membuatku lebih menyukainya dalam waktu singkat.

"Hai," balasku menyapanya. "Kaiser sedang keluar sebentar, err membeli sesuatu."

Menstruasi di awal hari biasanya tak terlalu banyak. Aku masih bisa bergerak degan leluasa, mempersilakannya untuk duduk di salah satu sofa-sofa kecil di ruang tamu. Sementara aku sendiri hanya melirik sofa berwarna abu tua itu, memikirkan cara untuk tak harus duduk sampai Kaiser datang dan mengambil alih situasi.

"Aku akan mengambil minuman," ujarku agak canggung. "Tolong tunggu sebentar."

"Ah tidak perlu," cegah Irina. "Leora bukan? Aku hanya ingin mengantarkan obat Kaiser karena ia terlambat satu minggu dari jadwal pengambilan obat ini. Apotekerku mengatakannya padaku."

Aku masih berdiri canggung, mengalihkan tatapanku pada tas kertas kecil yang sedang ia serahkan padaku, sebelum menerimanya dengan dua tangan. Irina memperhatikan setiap gerak-gerikku sambil terus menyunggingkan senyuman.

"Apa tidak apa-apa jika aku yang menerimanya?" tanyaku ragu.

Ia mengangguk yakin. "Kau sudah mengetahui tentang kondisinya bukan?" Sekarang aku yang mengangguk. "Kalau begitu tidak masalah. Lagipula ia tak akan pernah marah padamu. Padaku, ia akan sangat sangat marah."

Yet to Me (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang