Sebelum lebih mengetahui, perkenalkan nama aku Gloria Syafana Oarland bisa kalian memanggil aku Gloria atau Syafana. Kehidupan yang berjalan memasuki 17 tahun, aku hidup dengan seorang Ibu dan adik perempuan yang kini masih berumur 10 tahun. Perbedaan jarak usia kami berdua memanglah cukup jauh mengingat Ibu sempat menunda program itu. Aku lupa mengatakannya usia Ibu telah 46 tahun.
Kehidupan yang seharusnya aku bersenang-senang bersama teman sebaya kini terhapus, aku harus mencari biaya agar bisa melanjutkan pendidikanku dan adik. Raisa--Adik perempuanku hanya bisa diam di rumah sendirian dan hanya membuka buku lalu membacanya. Ibu juga tak ingin Raisa ikut bekerja diusia masih belia, aku bekerja tanpa sepengetahuan Ibu juga. Terpaksa namun itulah yang mesti aku lakukan
Kini setelah mengistirahatkan dari dunia sekolah sejenak aku kembali bersekolah, bertemu teman yang sifatnya aku kurang ketahui, dan berganti pelajaran baru.
Suasana sekolah tepat pukul 7 pagi mulai telihat ramai, siswa-siswi memarkirkan kendaraannya masing-masing di parkiran sesuai arahan Pak Satpam, ada juga siswa baru saja turun usai di antar oleh keluarga. Aku menyapa setiap guru dan siswa yang kukenal ketika berpapasan.
Melelahkan sekali. Setelah upacara, pelajaran olahraga menanti. Guru itu menyuruh siswa dari kelas lain agar aku dan teman teman bergegas mengganti pakaian lalu pergi menuju lapangan olahraga. Namun aku hanya berdiam diri duduk pada kursi dengan ditemani satu satunya teman yang kupunya. Teman yang lain telah bersiap, aku juga ikut bersama mereka meskipun harus berjalan paling belakang bersama Clara.
"Fan, katanya Pak Dino akan diganti sama guru baru." bisik Clara dengan pandangan kedepan menunggu kedatangan guru baru itu. Aku hanya menggendikkan bahu sembari memperbaiki rambutku yang berhamburan mengikuti angin pagi.
Clara menyodorkan sebuah ikatan rambut kepadaku, aku menerimanya lalu mengumpulkan menjadi satu dan mengikatnya.
Sayup sayup terdengar teman kelas berteriak saat seseorang memasuki lapangan olahraga yang kebetulan aku membelakangi mereka. "Itu dia. Dia, Fan. Mirip Ghar-" sontak aku menutup mulut Clara yang hampir saja mengucapkan nama seseorang yang sangat ku benci hingga saat ini.
Aku menggeleng pelan dengan raut wajah memohon namun dapat kuperhatikan raut wajah Clara seperti menatapku waspada.
"Kalian berdua maju berbaris,"
Seluruh tubuhku terdiam kaku, kedua kaki yang melemas, dan mata terblalak. Suara itu kembali terdengar setelah 3 tahun menghilang. Suara yang penuh aura intimidasi, penuh penekanan, dan akan menganggu setiap apa yang kulakukan. Seseorang itu yang telah mengacaukan kehidupan keluargaku yang harmonis. Pikiran aku mulai terbayang seseorang baring tak sadarkan diri tepat dihadapanku dengan peluru menancap di kepala dan lengan, Ibu yang berusaha memanggil tetangga, dan Raisa menangis di gendonganku. Kekacauan, ketakutan, kekhawatiran, teriakan, isak tangis memenuhi isi pikiran ku saat ini. Aku tak mampu mengimbangi tubuhku yang hampir saja terjatuh jika seseorang tidak menahan kedua lenganku.
"Fan. Lo kuat! Gue yakin," bisik Clara menyemangati saat suara seseorang menegur kami berdua masih belum beranjak dari tempat itu.
Clara memapah tubuhku lalu berjalan ikut berbaris dengan teman yang lain. Aku berbaris bagian kedua dari belakang dengan ketua kelas tepat dibelakang. Ersan membisikkan sesuatu ditelingaku namun dehaman seseorang membuat Ersan memundurkan badannya.
"Saya Arsland Gharviano selaku guru yang akan menggantikan Pak Dino setahun kedepan."
Aku tak berani mengangatkan kepalaku melihat seseorang didepan sana. Kedua tanganku saling mengenggam erat menahan ketakutakan ku. Hingga aku dapat merasakan seseorang depan sana menatapku sangat tajam. Dan betul saja orang itu menujukku agar bisa berbaris paling depan.
"Siswi kedua dari belakang harap berbaris paling depan," Aku berjalan dengan pandangan masih menunduk menatap tanah yang kupijak.
Bahkan sebelum memulai pelajaran, Gharvi mendekatiku dimana aku beranjak, dan menunjukku sebagai asisten guru itu. Teman-teman lainnya tentu saja tidak setuju atas keputusan Gharvi secara sepihak padahal harusnya Lala yang menjadi asisten namun Gharvi tidak ingin keinginannya ditolak siapapun.
Dan jikalau aku menolak maka selama satu semester kelas kami akan mendapatkan nilai D. Terpaksa lagi dan lagi aku menerima.
"Aku menemukanmu, Syafana"
Gharvi mengelus rambutku lembut disertai senyuman kemenangan setelah berhasil menemukan sesuatu yang menarik perhatiannya sejak ia masih kuliah. Aku tak bisa berteriak ataupun berlari menghindari manusia gila dibelakang. Disaat aku ingin bergabung dengan teman kelasku bermain bola basket tapi sebuah tangan kekar menahan lenganku dan menyuruhku menemani Gharvi yang tak henti hentinya menatapku.
"Pak Arsland. Kok Gloria gak ikut main bareng kita?" Ujar Ersan keheranan. Padahal inilah Ersan tunggu, bermain bersama Gloria, mengajari perempuan itu cara mendribble bola dengan bayangannya ia memeluk Gloria dari belakang
Sontak aku maju selangkah menghampiri Ersan. Sosok ketua kelas yang penuh tanggung jawab, berani menghadapi sesuatu disaat seseorang membutuhkan pertolongan. Aku tersenyum namun tak berlangsung lama kala Gharvi berjalan lebih cepat dan berhenti dihadapan ku kemudian menarik jemari tanganku, mengenggam sangat erat sampai aku merasakan jariku akan remuk sebentar lagi.
"Gloria sedang sakit perut Jadi saya akan menemaninya dan memantau kalian dari sini. Kembali ke lapangan Ersan" Gharvi berucap sembari menghalangi tubuh kecilku agar tidak bisa melihat Ersan.
Dengan rasa khawatir Ersan menghampiri lebih dekat ke Gharvi dan ingin menarik Gloria "Gloria, lo sakit perut?"
"Bukankah saya sudah mengatakannya" Gharvi menjawab. Tidak akan Gharvi biarkan suara gadisnya terdengar di telinga orang lain, suara itu hanya untuknya seorang diri.
Terpaksa Ersan kembali ke lapangan tanpa membebaskan aku dari jeratan Gharvi
POV Author
"Berharap dapat pertolongan dari teman kelas kamu, Syafana?"
Bisikan itu membuat bulu kuduk Syafana berdiri. Aku memejamkan mata sejenak lalu membukanya perlahan yang langsung disambut wajah tampan milik Gharvi sedang tersenyum menatapnya "Setelah ini kehidupan kamu tidak akan bebas. Saya akan menyingkirkan siapapun yang berusaha mengambil atau merebut kamu termasuk Ibu dan Raisa. Seluruh perhatian kamu hanya bisa tertuju ke saya, senyuman dan suara kamu."
Gharvi maju selangkah tanpa melepaskan tatapannya dari kedua mata indah, hidung kecil tapi mancung, bibir tipis nan pink dan kulit seputih susu. Bisa gila Gharvi memandang gadisnya.
"Biarkan aku bebas, Ghar"
Gharvi tidak akan menyetujui ucapan Syafana. Baru saja ia ingin menarik pinggang Syafana, Clara beserta teman lainnya datang menghampiri dua manusia itu yang hampir saja melakukan hal gila di sekolah
"Kalian sudah datang?" Gharvi bertanya, Syafana melepaskan diri dari rungkuhan Gharvi. Ia duduk menatap Clara yang menatapnya iba.
"Karna pelajaran saya telah usai. Saya ingin memberitahukan kalau minggu depan kelas kalian mendapat giliran mengikuti praktek berenang."
"Kalau boleh tau hari apa, ya, Pak?"
"Saya akan memberitahukan lebih lanjut melalui asisten kelas kalian. Surat yang akan saya bagikan harap diisi dan mengembalikan ke Syafana" saat nama itu disebut, Gharvi menoleh dan menatap layaknya akan menghabisi Syafana saat itu juga.
Mereka semua mengangguk, membubarkan diri meninggalkan Gharvi sendirian. Namun, saat Syafana akan ikut pergi tangan Syafana ditarik keras sampai menubruk dada bidang keras Gharvi.
Tangan kanan Gharvi memeluk pinggang ramping gadisnya dan kepalanya berada di leher jenjang gadisnya tepat samping telinga Syafana.
"Bisakah kita menghabiskan waktu istirahat hanya berdua di ruanganku. Saya masih merindukanmu, Syafana ku"
Syafana hanya bisa berdiam diri tak melakukan apapun. Hidupnya semakin hancur semenjak kehadiran seseorang dalam dekapannya ini.
Ia terus mengumamkan kata maaf kepada Ibu dan Raisa. Rasa bersalah menyelimuti ruang hatinya, kilasan kejadian terputar pada otaknya. Syafana tidak akan membiarkan Gharvi menguasai seluruh gerak geriknya bahkan kalau perlu ia pindah ke kota lain agar tidak bertemu dengan pria itu.