Aaron Kalingga
Shafia Anaira Hanisya
.
.
.Aku telah sampai di parkiran kampus. Mengambil tasku di kursi tengah lalu menyampir di bahuku.
"Nanti saya jemput,"
Aku menggeleng. "Pak Aaron sibuk. Saya bisa naik ojek,"
Pak Aaron memajukan tubuhnya, "Saya nggak suka kamu naik di motor orang lain. Nurut ucapan saya"
"Saya nggak suka menunggu, Pak."
"Kamu mau menunggu apa? Selesai acara saya tidak ada jadwal lagi, kamu libur sehari"
"Tapi ini acara Pak Rangga, teman sekaligus rekan kerja Pak Aaron. Bagaimanapun selesai acara Pak Rangga bakal ngajak rekan kerjanya buat pesta selanjutnya."
"Saya bisa menolak ajakan Rangga."
"Bapak nggak ada profesionalitas sebagai dosen."
"Itu hak saya menolak, bukan kewajiban juga saya mengikuti pesta Rangga"
Aku menoleh keluar dan mendapati teman kelas mulai berdatangan. Padahal aku berusaha datang lebih awal agar tidak ketahuan. "Saya keluar duluan, ya, Pak" setelahnya aku hendak membuka pintu mobil milik Pak Aaron.
Melihat itu Pak Aaron dengan cepat menahan tanganku. Menarik daguku ke arahnya, wajahnya maju dan kurasakan keningku disentuh sesuatu yang lembab dan kenyal. Pak Aaron menyium keningku. Cukup lama sebelum Pak Aaron menarik wajahnya dan mengusap wajahku. Aku tidak punya cukup keberanian menolak, aku tidak ingin leherku menjadi sasaran Pak Aaron.
Setelah itu, Pak Aaron mengizinkan aku keluar dan pastinya setelah situasi di parkiran masih sepi. Aku berjalan menuju gedung tempat promosi Pak Rangga hari itu. Tak sengaja aku berpapasan dengan Ketua tingkat yang tengah melakukan dokumentasi.
"Roi?"
"Eh, Shafia. Baru datang?"
Aku mengangguk. "Jadi lo panitia acara Pak Rangga?"
"Pak Rangga nunjuk gue buat jadi sukarelawan. Awalnya gue nolak tapi lumayan benefitnya jadi gas aja," Roi menyimpan ponsel di saku baju kameja dan berjalan di sampingku.
"Udah selesai foto papan ucapannya?"
"Belum semua."
"Kenapa nggak lo lanjutin?"
"Bar-"
Secara tiba-tiba bahu Rio dirangkul oleh seseorang yang mengambil posisi ditengah antara aku dan Rio. Orang itu seakan-akan akrab dengan Rio, mangajak ngobrol dan nggak menyadari posisiku.
Tapi nggak berlangsung lama, saat masuk dalam lift orang itu yang masih merangkul pundak Rio beralih menarik tanganku lalu mengenggamnya secara sembunyi. Aku melirik sekitar, hanya beberapa orang fokus pada ponsel, termasuk Rio yang sesekali menimpali ucapan Pak Aaron.
Tangan Pak Aaron mengenggam, meremasnya lalu mengusap tanganku kala aku lelah sendiri. Lelah karena berusaha melepaskan tautan tanganku dengan dia.
Ting!
Pintu lift terbuka, orang dalan lift berjalan keluar. Sebelum keluar aku menarik kuat tanganku dan berlari kecil. Pak Aaron melihat itu dan tertawa kecil. Raut wajah Pak Aaron tampak bahagia dan Rio menyadari itu.
"Shafia memang menggemaskan, Pak. Saya saja kalau duduk samping Shafia kadang ketawa sendiri karena tingkahnya."
Mendengar ucapan Rio, tatapan Pak Aaron berubah, tatapannya jadi tajam, rahangnya mengetat. "Kamu duduk dekat Shafia?" setiap kata penuh penekanan.
Rio mengangguk, "Tapi gak sesering itu juga, Shafia lebih suka duduk di barisan tengah."
"Bareng siapa Shafia duduk?"