Tak terasa dua bulan Chaira kerja di sebuah apartment elit dengan berbagai rintangan yang kadang sangat sulit perempuan itu terima. Salah satunya berkurang jam istirahat dan tanpa menyentuh ponsel. Memang terdengar biasa namun Chaira membutuhkan benda persegi itu dalam genggaman tangannya, mencari tahu kabar gebetannya.
Terdengar klise, saat Chaira selesai mengadakan sidang skripsi ia tak langsung pulang melainkan memilih menghabiskan waktu sendiri ke mall--menonton film terbaru, mencoba menu makanan unik, dan terakhir di timezone. Sudah biasa bagi Chaira. Tidak ada yang menemuinya setelah skripsi. Tidak ada yang mengucapkan ungkapan selamat. Menyedihkan. Hanya sang doi mengirimkan kata semangat sebelum ujian skripsi.
Akan tetapi bisa dikatakan keberuntungan atau kesialan dia bertemu dengan seorang anak laki laki yang langsung memeluk kakinya dan memanggilnya 'Bunda'. Sejak saat itulah Chaira terjebak dengan alur pertemuan awal. Dengan iming iming gaji tinggi dari karyawan kantor, Chaira langsung menerimanya tanpa memikirkan resiko akan ia hadapi.
Setelah tanda tangan kontrak, detik itu juga Chaira resmi menjadi asistent seorang lelaki sekaligus ayah dari anak ditemuinya. Panggil saja anak itu Nevan kini berusia satu tahun, memiliki kulit putih bersih, rambut hitam lebat, dan cepat memahami sesuatu. Sementara ayah dari Nevan bernama Grayson, seorang lelaki berjabat sebagai pemilik perusahaan besar, memiliki rupa seperti anaknya, garis rahang tegas, dan auranya mampu mengintimidasi siapapun termasuk Chaira.
"Jangan lupa siang nanti"
Chaira mengangguk saja karena ia tengah menyuapi sarapan pagi ke Nevan.
"Menjawab pakai mulut. Itulah fungsi kamu punya lidah" sarkas Gray tak menyukai balasan perempuan itu.
"Iya. Soal Nevan biar saya bawa saja,"
Gray merogoh saku celana, mengeluarkan dompet coklat tebal lalu mengambil salah satu kartu hitam miliknya. "Pake kartu ini, pinnya tanggal lahir Nevan," Gray memasukkan kembali dompet itu.
"Apa ada batas pengeluaran?"
"Kau butuh sesuatu?"
Memang dan banyak dibutuhin seperti perlengkapan Nevan sudah habis, "Habiskan kalo bisa" lanjut Gray mengamati gelagat Chaira.
"Saya tidak banyak waktu. Langsung pulang jika telah selesai"
Chaira mengangguk sebagai jawaban. Lelaki itu mendekati Chaira kemudian mengecup kening anaknya. Selama mengecup kening Nevan, Gray dari bawah mengamati ekspresi Chaira. Lelaki itu terkekeh.
Sebenarnya Gray jarang melakukan hal tersebut kepada Nevan, akhir akhir ini selalu terbayang sesuatu yang membuat Gray harus laksanakan sebelum berangkat kerja. Entah firasat apa perasaan Gray.
Selama seharian, Chaira membawa Nevan menuju supermarket untuk membeli bahan makanan yang pada habis di lemari dan kulkas. Ia sengaja tidak menyuruh Pak Jio menemaninya karena Chaira pengen menghabiskan waktu bersama anak kecil itu.
"Nevan pilih makanan buat Papa," titah Chaira kepada anak duduk di trolly belanja.
Tangan Nevan menunjuk salah satu box kecil makanan sehat dengan kaki yang bergerak gerak. Menujukkan anak itu tengah memiliki perasaan yang bagus.
"Pintarnya, anak siapa, sih," tangan Chaira mengelus rambut Nevan gemas.
Chaira memasukkan hasil pilihan Nevan ke trolly lalu mendorongnya menuju kasir membayar semua barang dalam trolly itu.
Selama perjalanan kembali ke apartement, Chaira terus mengajak Nevan kecil berbicara, melatih pendengaran anak itu agar mampu menangkap apa yang Chaira katakan.
