Tepat pukul 8 pagi, Seorang gadis berusia 21 tahun kini menyalakan kendaraan mobil punya sang Papa. Perkenalkan nama gadis itu Kafnaray Slavina, kadang disapa Nara.
POV Nara
Aku menjalani kegiatan sehari-hari seperti perempuan pada umumnya, pagi hari berangkat kuliah hingga matahari tenggelam baru kembali ke rumah pukul 5 sore. Memiliki 2 saudara perempuan, Hana dan Fara. Aku termasuk anak yang cukup tak mengikuti peraturan dari orangtua, bukan bandel hanya saja aku bosan jika berada di rumah tanpa melakukan sesuatu bersama teman dekat. Meskipun aku sering keluar, kepribadianku memiliki rasa takut dan gelisah saat bertemu orang baru. Bisa dikatakan gadis introvert, dan sewaktu waktu aku tidak tahan menahan rasa takut, cemas, gelisah, bergetar, tangis dan dada yang bergemuruh.
Seluruh fungsi tubuh seolah olah sulit dikendalikan ketika melihat banyaknya kerumunan manusia, apakah aku mempunyai panick attack? Namun seseorang juga memberitahu kalau saja aku mengada ngada perihal sesuatu yang kualami. Perlukah orang itu merasakan apa yang sering aku rasakan?
Berhenti membahasnya. Seminggu yang lalu Mama merasakan sakit luar biasa pada perutnya yang membesar. Beliau tidaklah sedang mengandung namun setelah diperiksa dokter memberitahu ada tumor tumbuh sekitar 19 cm. Aku yang mendengarnya sangat terkejut mengingat Mama sering keluar beraktivitas berjalan jauh tanpa tau ada sesuatu dalam perut.
Aku menahan tangis saat dokter mengatakan perihal tersebut. Kami berdua keluar dari ruangan lalu pulang ke rumah membahas penyakit dalam tubuh Mama ke keluarga. Awalnya kuperhatikan raut wajah saudaraku nampak terkejut, aku pun sama seperti mereka. Terpaksa Papa menyarankan esok hari masuk ke rumah sakit, Papa tidak bisa membiarkan Mama menahan sakit yang pasti Papa tidak bisa rasakan.
Beberapa hari, aku terus mengikuti arahan dari keluarga dan dokter, malam hari pun aku keluar mencari stok darah buat jaga-jaga jika operasi tidak berjalan lancar. Aku tak mengingikan itu semua. Setiap malam pukul 11 malam aku baru bisa merebahkan diri di kasur semenjak Mama telah dirawat di rumah sakit.
Akhirnya semua kegiatanku tidak berakhir sia-sia meskipun aku harus mendonorkan darah secara sukarelawan jika seseorang ada yang membutuhkan sesuai golongan darahku.
Aku mengucapkan rasa syukur kepada Allah kala menerima telfon dari Papa mengatakan Mama telah berjasil melewati proses operasi dan mampu bertahan sejauh ini. Air mata bercucuran keluar dari kelopak mataku. Posisi dalam mobil aku menyandar di kursi dengan tangan menutupi mataku. Aku menangis bahagia. Untung saja orang lain tidak melihat aku dalam mobil. Bergegas aku menghapus air mata lalu melajukan kendaran roda empat ini menuju rumah sakit dan tak lupa singgah membeli makanan.
Kembali ke rumah sakit. Aku masuk ruangan dan melihat Mama masih tidur pengaruh obat bius selama operasi. Aku tersenyum haru. Papa juga ikut tersenyum, serta Fara dan Hana yang setia menemani Papa.
Selang beberapa hari, Mama mulai dinyatakan semakin membaik, perawat juga menyarankan untuk mengurangi segala aktivitas yang bisa membuat Mana lelah. Aktivitas di rumah aku yang mengambil alih, memasak, mengantar makanan ke tempat Mama, membersihkan, menjaga dan mengantar Adikku kemanapun.
Melelahkan. Aku memasuki ruangan Mama, menutup pintu dan menghampiri Mama yang tampak berbicara ke Fara. Mataku melihat bedcover tergeletak dilantai bersama bantal dan guling. Aku gunakan kesempatan itu beristirahat sejenak meskipun sudah memasuki waktu sore hari.
"Tunggu sampai habis maghrib, ya, tidurnya"
"Nara ngantuk, Ma"
"Yaudah kamu tidur, nanti Mama bangunin,"
Tidur dalam posisi terlentang, kepala menghadap kanan dan tangan kanan menyangga kepala. Aku menikmati waktu tidur sehingga aku tidak menyadari siapa saja yang datang mengunjungi Mama.
