Jumat malam, seluruh anggota keluarga telah tiba. Ada yang datang dari kampung halaman, ada juga dari luar kota. Semuanya saling berbagi cerita diselingi senyuman tak pernah luntur.
Sajian makanan di atas meja telah terhidangkan. Para laki laki duduk di kursi ruang tamu, ada juga melantai. Sementara para perempuan menjadi terpencar, sebagian di dapur, sebagian di ruang TV, dan sebagian di kamar.
Bahkan kendaraan mereka memenuhi lorong rumah. Diantara rumah lain, hanya rumah bercat hijau paling mencolok, suara bising. Namun tetangga tetangga tidak mempersalahkan.
Tampak seorang perempuan baru saja selesai memarkirkan kendaraan miliknya. Ia berjalan cukup jauh dari tempat parkir menuju rumah hijau itu. Sesampainya, ia melepaskan alas kaki lalu mengucapkan salam. Terlihat ruang tamu dipenuhi sanak keluarga. Perlahan ia menyalami tangan mereka dari yang tua hingga ke muda. Hingga salaman terakhir, ia mendongak mendapati wajah seorang pria yang masih muda diantara yang lain. Bibir perempuan itu membentuk sebuah senyuman kecil sembari ingin melepaskan tangannya. Akan tetapi, tangan berurat itu menahan tangannya dengan tatapan menajam ke arah wajah perempuan itu. Cukup lama manusia berbeda jenis itu saling berjabat tangan hingga salah seorang menginstrupsi agar pria itu melepaskan tangannya.
"Nak. Lepasin tangan Nak Disya. Kasihan dia" Pria itu dengan segera melepaskan kedua tangan yang tengah bertaut.
Sementara perempuan merasa aneh sama perlakuan pria itu. Selama ini, ia baru pertama kali bertemu pria berkulit putih. Diantara sanak sepupu, pria itu juga baru muncul dan hadir di tengah perkumpulan keluarga. Ia menggelengkan kepalanya tak memusingkan soal pria.
Baru saja ia masuk ke dapur, sudah disuguhkan dengan banyaknya para wanita saling bekerja sama membuat makanan yang akan disantap malam kelak. Masih sedikit oleng, ia memilih masuk kamar bergabung sama sepupunya. Dan benar saja, di sana mereka asik berbincang dan menyadari kehadirannya. Ia masuk dan mendudukkan bokongnya.
Lima menit kemudian, ia dipanggil lagi. Benar benar tidak tenang. Mereka terus mengomeli para anak gadis saat tidak ikut membantu.
Dengan terpaksa kami berbaur, ada mengupas kulit bawang, ada yang memotong sayuran, ada yang mencuci sebagian buah, dan ada juga mengaduk adonan tepung.
Disya Kierana. Nama perempuan cantik.
*POV Disya Kierana.*
Aku mendaratkan bokongku disamping tante yang sedang memotong bawang menjadi dua bagian. Saat aku sedang bekerja, tiba tiba seseorang duduk dibelakangku dan menepuk pundakku. Namun itu pasti Aisyah, selalu menjailiku. Aisyah, nama sepupu yang tak bisa memegang pisau. Sedikit aneh namun itulah dia.
"Belum punya pacar, Dis?" Aku sontak menoleh ke arah tanteku. Dapat kulihat wajah tante masih tergolong muda, keriput tak terlihat di wajah mulusnya dan senyuman manis selalu terpatri di wajah putih.
Tante Desi. Diantara saudara Ibu, dia anak bungsu. Memiliki anak dua, mendapatkan gelar S2 akhir tahun lalu. Seluruh keluargaku sangat bangga memiliki anak seperti Tante Desi. Disamping memiliki pemikiran yang luas, pintar dan wajah cantik.
"Masih belum kepikiran buat punya hubungan pacaran, Mbak. Karir jauh lebih penting. Kan, Mbak Desi panutan aku."
"Tapi makasih udah jadiin Mbak panutan kamu. Justru ada baiknya kamu mulai cari pasangan. Kamu itu cantik. Pintar. Orangnya asik juga. Mbak aja kagum sama kepribadian kamu, Dis."
Memang akhir bulan ini aku telah menyelesaikan pendidikan S2. Perayaan wisuda akan diadakan minggu depan. Punya gelar memungkinkan akan sedikit kesulitan mencari pekerjaan apalagi pria yang cocok untukku. Aku orangnya gampang tersinggung dan memiliki trust issue pada siapapun.
"Nanti Disya pikir lagi. Mbak Desi tau nggak? Kemarin Disya ketemu sama Risyad di Mall. Dia makin cak-"
Belum sempat menyelesaikan ucapanku, suara deheman dari belakangku memotong ucapanku.
Sontak aku dan Tante Desi menolehkan kepala, dan terkejut melihat sosok pria yang duduk dibelakangku. Jadi orang yang aku kira Aisyah ternyata pria yang menahan tanganku tadi.
"Agam, kenapa duduk disitu?" Tanya Tante Desi karena tempat dibelakangku bukan lorong namun tembok yang membatasi antar ruang tamu dan ruang TV.
"Nggak masalah" jawabnya tanpa memerdulikan keberadaan sekitar. Pria berambut hitam itu memilih bergabung diantara perempuan dari pada duduk di ruang tamu.
Kedua Mata itu terus menatapku tajam, seolah akan melahapku hidup hidup. Aku memutuskan tatapan itu lalu kembali bekerja. Tante Desi juga tak memerhatikan tatapan pria bernama Agam itu.
Saat aku ditinggal sendiri oleh Tante Desi, tiba tiba sebuah tangan merengkuh pinggangku, dan dapat aku rasakan sebuah kepala ikut menyadar di punggungku.
Kepalaku akan menoleh kebelakang terhenti pada saat suara Agam berbisik.
"Jangan bergerak"
Aku tidak terima diperlakukan seperti ini. Punggungku bukan tempat sandaran. Pinggangku juga tidak boleh sembarang orang merengkuhnya. Biarpun keluarga.
"Lepasin. Nanti Nenek lihat. Aku gak suka diginiin"
"Jadi mau kamu kayak bagaimana, hm?"
Seketika sekujur tubuhku merinding mendengar suara berat itu.
Tangan Agam mengeratkan pelukannya di pinggangku. Kepalanya masih bersandar.
"Kalau capek bilang. Tidak seharusnya kamu lakukan ini."
"Gam, lepasin. Malu diliatin orang. Kerjaanku masih banyak."
Agam tidak memdengarkan ocehan gadisnya. Gadisnya? Mulai detik itu Agam telah mengklaim Disya menjadi miliknya. Persetan sama keluarga. Ia sudah jatuh hati pada gadisnya.
*POV Author*
Agam mengangkat kepalanya waktu merasakan deru nafas gadisnya yang sesak. Dengan sedikit paksa, Agam membalikkan badan gadis didepannya kemudian menempelkan telapak tangannya ke dahi Disya.
Dapat Agam lihat wajah pucat gadisnya, bibir tipis itu sedikit bergetar dan tatapan sayu. Sebelumnya Agam melihat keadaan gadisnya baik baik saja. Tanpa berpikir panjang, Agam mengendong gadisnya masuk kedalam kamar. Tak mengetahui siapa pemilik kamar ia hanya masuk lalu meletakkan gadisnya dengan perlahan di atas kasur.
Entah kemana seluruh keluarga tidak memerhatikan kondisi gadisnya. Kenapa mereka malah menyuruh Disya bekerja ketika sakit?! Jika bukan keluarga, Agam sudah membogem wajah mereka satu persatu. Gila. Itulah Agam.
Kedua kakinya melangkah menuju pintu untuk mengunci agar tidak menganggu mereka berdua. Setelah mengunci pintu, Agam melepaskan baju hitam di badannya lalu merangkak naik ke kasur. Ia merengkuh tubuh panas gadisnya masuk kedalam pelukannya , seolah menyalurkan kesembuhan agar panasnya bisa mereda. Agam mengembil remote AC lalu menekan tombol Off.
Tanpa memakai baju, Agam terus memeluk tubuh gadisnya. Rasanya ia akan mengamuk mendengar rintihan gadisnya. Bodoh! Kenapa gadisnya yang sakit? Jika bisa berpindah, biar Agam merasakan sakit itu. Ia tidak suka melihat orang dicintainya sakit merintih.
"Sayang. Bertahan, ya." Bisik ke dekat telinga Disya disusul kecupan di pucuk rambutnya.
Tangan kanan Agam mengelus punggung gadisnya. Sementara tangan kiri ia gunakan untuk mengambil selimut di kakinya.
"Kamu pasti sembuh. Ada aku, jangan nangis." Sungguh Agam sangat ingin menangis.
"Kalau sampai besok kamu masih sakit, aku tidak segan membatalkan acara kakak kamu. I'm promise"
Agam gila. Dan ini masih sebagian dari kegilaan Agam.