Audrey Natalia.
Panggilan perempuan rambut sebahu sedang menyiapkan sajian makan untuk tamu acara. Bukan acara gede tapi Mama Gina memanggil para siswa yang wanita itu kenal, makan siang bersama-sama. Tentu saja semua butuh bahan yang cukup karena bukan hanya mereka, Gina memanggil keluarganya dengan teman Audrey.
"Bawang daun Audrey taruh di mana, Mah?" tanya Audrey.
Mendengar pertanyaan Audrey, wanita berusia lima puluh tahun tersebut menghampiri anaknya. "Pisahin aja dari meja makan. Kamu boleh taruh di karpet situ," jawab Gina menujuk karpet sebagai alas duduk tamu nanti.
Audrey mengikuti jawaban Mamanya. Ia juga menyingkirkan barang yang tidak perlu ada. "Mah, Audrey buang bekas snack semalam, ya, udah tinggal dikit!" teriak Audrey sebab suara blender sangat berisik.
"Apa?"
"Enggak. Mama lanjut aja. Udah Audrey buang tadi." Gumamnya yang pasti Gina tidak dengar.
Sudah pukul satu siang, satu per satu mereka datang. Ada langsung mencicipi makanan, ngobrol bareng Papa, nonton netflix, dan satu lelaki hanya membaca sebuah buku di ruang tamu. Audrey sedikit heran, saat teman lelaki itu membaur melakukan hal lain seperti makan justru lelaki tersebut tidak ikut bergabung.
"Abang gak ikut makan bareng mereka?" Audrey melihat kedua netra lelaki itu. Paras wajah dan badannya mampu membuat perempuan lain akan terpesona.
Cukup lama lelaki itu memandang Audrey. Kedua netranya tidak putus dari tatapan teduh Audrey. Tidak ada pergerakan apapun hanya dua manusia saling menatap dengan makna sangat berbeda. Jika yang menatap Audrey segitu lama, lain hal Audrey kurang nyaman ditatap begitu intens seolah-olah ingin melahap wajahnya.
"Abang gapapa, kan?" Audrey melambaikan tangan depan wajah tegas lelaki itu.
Bukan tersentak kaget, sosok itu bangkit dari duduknya berjalan melewati Audrey. Akan tetapi ia berhenti berjalan, tepat sampingnya lelaki tersebut berbisik dengan nada penuh penekanan.
"Gua Aiden Emerson. Lo boleh panggil Aiden"
Setelah berbisik, ia meninggalkan Audrey yang termenung mencermati perkenalan singkat lelaki bernama Aiden. Saat masih mikir, suara Gina membuyarkan lamunanya. Audrey menahan diri untuk tidak terjerat dalam pikirannya sendiri.
Semua sudah berkumpul di ruang tamu termasuk Mama Gina, Audrey dengan teman kelasnya termasuk pacarnya turut ia undang. "Apa cuma perasaan gua doang, cowok depan lo kagak pernah ngalihin matanya ke arah lain selain lo, Drey. Gue rada takut, lo punya hubungan sama tuh cowok?" Farah berbisik tapi tidak berani mengangkat pandangannya karena ia sendiri merasakan aura dari cowok itu.
"Aiden maksud kamu? Dia mahasiswa Mama. Dan soal dia lihatin aku itu salah besar, mungkin aja sedang nonton tv, kan, secara kita berdua belakangin TV," Sebenarnya ucapan Farah dapat Audrey rasakan. Entah semenjak Aiden memperkenalkan diri, ia seperti diperhatikan
"Tapi lo enggak ada hubungan apapun sama dia?"
"Cewek kayak aku mana mungkin punya hubungan sama Bang Aiden. Kamu tuh ngaco"
Bisa saja, suatu saat nanti kita akan jadi satu.
Aiden membentuk senyuman kecil yang bahkan orang tidak bisa menebak apa Aiden sedang senyum atau sebaliknya. Sejak gadis menanyakan mengapa dirinya memilih membaca buku dan teman yang lain bergabung di ruang tengah, Aiden telah tertarik pada gadis itu. Dengan kedua bola mata brown dimiliki oleh Audey, menimbulkan desiran aneh di jantungnya. Netra Aiden terus menatap intens."Kasian soalnya Bang Johan. Dia sayang banget sama ka-" ucapan Farah terpotong karena Aiden menjatuhkan gelas dari genggamannya hingga pecah. Semua mata yang ada di ruangan itu tertuju pada pecahan gelas di lantai lalu menatap si pelaku. Sementara Aiden yang menjatuhkan gelas terus menatap setajam silet pada kedua netra Audrey. Mereka berdua saling melempar tatapan dengan tangan Aiden terkepal kuat.
Mama yang lagi masak bergegas menghampiri Aiden, mengecek tangan lelaki itu. Tapi semua yang Mama lakukan tidak ada reaksi apapun darinya, hanya pandangannya masih pada mata Audrey.
Perempuan itu bergerak tidak lepas dari tatapan Aiden juga. Benar benar dalam jangkauan Aiden.
"Lo kalau mau buat kekacauan tau situasi dan dimana lo sekarang! Jangan asal jatuhin barang Bu Boss." Axelle menepuk pundak Aiden karena ia perhatikan Aiden tidak melakukan pergerakan apapun bahkan mulutnya diam seperti kena lem.
Mendengar ucapan teman, Aiden berdiri meninggalkan kekacauan itu. Emosi yang membara bara itu harus Aiden padamkan dengan mencari mangsa baru. Suara teriakan temannya 'pun Ia hiraukan. Namun ada satu suara yang membuat emosi Aiden sekacau ini memanggilnya dari belakang. Ia menghentikan langkahnya. Tidak bergerak sedikitpun. Dan ia menunggu kalimat apa yang akan diucapkan oleh orang itu.
"Bang!" Orang itu memanggilnya dengan nafas tak teratur.
"Jangan per-"
"Audrey!
Panggilan lain juga terdengar akan tetapi ada yang beda, suara itu suara tidak pernah Aiden dengar bahkan seperti suara seorang laki laki. Oh shit! Puncak rasa marah semakin memuncak memenuhi seluruh isi pikiran dan dadanya. Dengan kedua tangan yang terkepal kuat, rahang mengeras, dan urat di pelipis wajahnya menonjol ketika--
"Acaranya sudah selesai, sayang?"
Orang asing itu memanggil Audrey dengan sebutan yang seharusnya Aiden katakan. Panggilan yang semestinya Aiden keluarkan dari mulutnya. Dan tidak boleh siapapun mengatakan itu kecuali dirinya.
"Oh, Johan, kamu sudah sampe?"
Sebelum tangan cowok itu menjangkau rambut gadisnya, ia berjalan cepat dan sengaja menyenggol pundak Audrey hingga perempuan memegang peralatan K3 itu menoleh terkejut. Ia tidak menyangka jika mahasiswa Mamanya belum pergi.
"Masuk"
Tapi entah kenapa Audrey mengiayakan ucapan Aiden dan masuk ke dalam rumah menggandeng tangan Johan Johan itu. Sontak Aiden melototkan kedua matanya menyaksikan perlakuan Audrey. Kedua kalinya, Aiden berjalan ke tengah tengah mereka berdua dan kedua tangan yang saling bertautan itu lepas. Ia sengaja dan tidak akan membiarkan gadisnya disentuh oleh cowok lain
Bahkan saat Audrey sudah duduk kumpul bersama tamu lain, Aiden memilih duduk di tempat cukup sempit tepat samping gadisnya. Semua orang melongo melihat kelakuan Aiden diluar pikiran mereka. Karena setahu mereka Aiden anti perempuan bahkan tidak pernah sekalipun Aiden berdekatan dengan perempuan lain. Apalagi pacaran. Katanya Aiden memilih dijodohkan daripada mencari perempuan aneh dan banyak gaya tapi omongan selalu tidak sesuai akan terjadi. Sekarang, Aiden melakukan semuanya, membanting omongannya dahulu.
Tidak membiarkan Audrey kesepian, Aiden menjangkau tangannya lalu menggengam erat. Seperti ada perasaan tidak suka ketika Johan mengenggam tangan gadisnya. Oh mulai sekarang, Audrey Natalia menjadi miliknya. Perempuan satu satunya yang boleh memasuki kehidupannya, tanpa penghalang siapapun.
"Pah, Aiden sudah menemukan keinginan Papa."
Aiden memutuskan panggilan secara sepihak, meletakkan ponselnya di atas paha gadis itu. "Ketik nomor ponsel kamu"
"Hah?" Audrey tidak bisa mencerna dengan baik apa yang sebenarnya Aiden lakukan.
"Masukkan nomor ponsel kamu di ponsel aku."
"Buat apa?"
"Lakukan saja."
"Kat-"
Kedua mata Audrey memblalak ketika Aiden memajukan kepalanya, mencium keningnya di depan Papa dan teman lelaki itu.
"Bisa nurut ucapan aku, kan?" desisnya sehabis mencium kening Audrey.
.
.
.
.GAES DISINI ADA GAK YANG SEDIH KARENA NGGAK BISA KETEMU BUJANG BUJANG ENCITI DUA HARI KEDEPAN???
SUDAH SATU NEGARA YANG SAMA TAPI NGGAK KETEMU JUGA. AAAA SEDIH BANGETTT
OHIYAA, SUPRISE BUAT KALIAN KARENA UDAH PENUHIN TARGET VOTE DI CERITA SEBELUMNYA, AKU USAHAIN UPDATE ALUR CERITA BARU.
Jangan menghujat ya gaes, karena pernah aku mimpi persis kayak cerita di atas jadi mikir apa kusalurkan ke wattpad aja. Yaudahlah.
