Teacher 2

3.2K 181 6
                                    

Ucapan kala itu sebentar lagi akan terwujud. Berbagai perlengkapan serta barang yang perempuan itu perlukan telah tersusun dalam koper. Dia menghela nafas lelah, keringat menyusuri kulit wajahnya membuat pesona gadis itu semakin tak terelakkan. Sembari menunggu, ia menoleh ke sekitar area bandara yang masih cukup sepi pada waktu kurang lebih jam tiga malam. Tanda-tanda keluarganya belum juga menampakkan batang hidungnya.

Ia mendudukkan dirinya di salah satu tempat duduk area menunggu. Tak lama sosok yang ia tunggu, muncul dengan lari kecil.

"Kok lama? Mas yang anter kejebak macet?" Runtutan pertanyaan keluar dari mulut Syafana karena rasa khawatir yang menyelimuti pikirannya.

Tampak kepala Ibu menggeleng, "Nggak macet, hanya saja Ibu kebelet pengen buang air jadi singgah dulu. Kamu sudah lama nunggu?"

"Lama nunggu juga tidak menjadi masalah buat Syafana. Tapi khawatir karena Ibu sama Tara belum sampai. Itu aja,"

Mereka bertiga berjalan memasuki area pengecekan. Seluruh prosedur sebelum penerbangan dari tempat asalnya menuju suatu kota telah selesai meskipun sedikit kesalahan akibat over bagasi. Terpaksa Syafana mengeluarkan segocek rupiah agar tidak ribet.

Dua puluh menit berlalu, kini Syafana, Ibu dan Tara telah duduk di kursi dalam pesawat, memasang body safety dan membaca doa. Tapi ada sesuatu yang aneh pada saat ini. Keanehan itu semakin kuat ketika tidak ada satupun penumpang pesawat yang lain yang memiliki jadwal sama dengan Syafana. Apa memang hanya mereka memiliki jadwal penerbangan? Dapat diketahui, kota yang mereka tuju termasuk kota paling sering dikunjungi apalagi masa liburan seperti sekarang.

Tak ingin mengambil pusing, Syafana duduk paling ujung luar memejamkan kedua matanya, mengatur posisi enak dan mulai memasuki alam mimpi. Kini tujuan perempuan itu meninggalkan kota kelahirannya segera terwujud.

Selang beberapa menit, Ibu dan Tara ikut terlelap masuk alam mimpi setelah menghabisi satu paket makanan yang diberikan oleh pihak maskapai. Mereka bertiga tidur tanpa mengetahui arah tujuan pesawat.

Kekehan kecil muncul ketika melihat gadis kecilnya terlelap dalam posisi kurang mengenakkan. Kakinya berjalan pelan, sebelah tangan masuk dalam saku celana.

Dia berjongkok kala wajah gadisnya yang sialnya sangat cantik tengah memejamkan matanya. Dengan tak sopan, tangan orang itu menjangkau wajahnya kemudian mengelus pelan sangat lembut pipi gadisnya.

"Setakut itu kamu ke aku?"

Para pramugari tidak berani menegur sang tuan karena pekerjaan yang mereka pertaruhkan akan dipatahkan ketika salah satu diantara mereka menghalangi rencana si orang itu.

"Dan membawa keluargamu yang sudah pasti dengan mudah aku temukan?" Tangannya masih mengelus pelan hingga berakhir di bibir pink merekah itu.

Tubuhnya seketika mematung ketika tangannya berada di bibir gadisnya. Ritme jantungnya semakin berdetak kencang dan ia menyukai perasaan itu.

Tanpa menunggu lama, orang itu membuka bodysafety lalu membopong tubuh gadisnya menuju kelas bisnis. Sepanjang berjalan, tak henti-hentinya bibir milik Gharvi mengecup kening gadisnya.

"Kau sungguh manis, sayang"

Manis karena membuat ia sangat ingin mengulang hal yang sama kepada gadisnya seorang. Tak pernah bosan ataupun akan meninggalkan gadisnya. Kalimat barusan tidak akan Gharvi lakukan seumur hidupnya.

Perlahan tubuh Syafana ia letakkan dan tak lupa ikut merebahkan diri samping gadisnya. Kedua netra tajam milik Gharvi terus memandang wajah teduh gadisnya, yang pernah menaklukkan hatinya sekali kejap ketika masa sekolah dulu. Hingga sekarang perasaan obsesi gila yang sudah menguasai dirinya itu masih mencari cara agar menemukan sang pelaku. Dan akhirnya tepat depan matanya, Gharvi bebas memandang gadisnya dari jarak dekat tanpa melalui layar ponsel lagi.

"Apa kekurangan saya sampai kamu mencari cowok lain?" Sela-sela ia berbicara, ada rasa letupan emosi yang memuncak, tangannya terkepal kuat dengan rahang mengetat.

Jemari tangannya tak henti mengelus permukaan kulit gadisnya, merapihkan helaian rambut gadisnya, sesekali mengecup bibir mungil kala serangkaian kilasan melintas pada pikirannya yang membuat emosi kembali mencuat.

"Berusaha menjauhi kehidupan saya, heuh?" Kekehan terus keluar dari mulutnya saat mengingat perjuangan gadisnya yang ingin melarikan diri bahkan berpindah kota hanya karena menemui dirinya di area publik.

Untuk merendam emosi yang semakin memuncak, Gharvi memejamkan kedua matanya dengan sebelah tangan meraih lalu mengenggam kuat tangan milik Syafana. Meskipun Gharvi tak melihat ataupun memandang objek obsesi gilanya, ia harus bisa menjangkau apapun bagian tubuh gadisnya. Seperti tangan, dan jika berjauhan, ia harus memantau melalui layar komputernya. Sedetikpun ia tidak akan melepaskan jangkauan Syafana dari pandangannya.

"Kau membuatku gila, sayang"



Dark ObsessionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang