Bara Narengga.
Moara Putri..
.
.Sebelum berangkat ke kampus gue sarapan depan televisi yang sengaja dibeli dua bulan lalu. Bosan. Selain karena laptop dan iPad untuk keperluan lain, tv bisa bantuin gue hidupin suasana sepi di kost-an gue.
Mata kuliah pertama statistika dasar. Alias mata kuliah penuh fokus meski semester tiga gue lebih dulu ambil mata kuliah yang gue butuhin.
Tring ...
Alarm bunyi. Gue ambil ponsel terus matiin alarm. Setelah off alarm, piring bekas makan tadi gue cuci sekaligus bekas peralatan masak. Usai itu, lampu dapur padam. Sengaja biar hemat listrik.
Kaki gue masuk ke ruang tamu, televisi udah nampilin layar hitam, tangan ngambil tas terus gue nyampirin ke bahu. Tak lupa ponsel serta laptop.
Sebelum maju, ponsel berbunyi. Notifikasi yang buat gue menghela nafas pelan. Saking muak, bibir menipis masuk ke dalam menahan kekesalan.
Tere Anggi
Jangan lupa Moara.Masih perasaan kelas ponsel dibanting ke kursi sebelah. Gue memejamkan mata. Kapan semua ini berakhir? Resiko yang harus gue terima juga setelah Tere menawarkan.
Sesampainya di kampus, memarkirkan kendaraan di basement. Gue keluar dari kendaraan lalu menekan tombol kunci. Tak lupa memasukkan kembali kunci kendaraan ke dalam tas.
Lagi Tere mengirimkan pesan.
Tere Anggi.
Gue nggak sabar.Gue mengetik balasan pesan.
Me
Semoga berhasil, ya. Doain.Kelas tampak sedikit memenuhi mahasiswa yang ikut mengambil mata kuliah yang sama. Tersisa beberapa jajaran kursi dua dari belakang. Satu jajaran berkisar tiga belas kursi meja. Tiap kelas cukup luas. Gue lebih milih duduk paling belakang karena pesan teman sekelasnya. Titip kursi. Untung hanya dua orang. Gue juga ngerasa nggak terlalu dekat hanya sebatas teman kelas.
Dua puluh menit berlalu. Kursi depan sampai belakang telah penuh. Gue yang keasikan baca novel tak sadar jika Rara dan Riana yang saudara kembar sudah tiba.
"Kapan sampe?" Gue bertanya sembari membalikkan buku novel.
Riana sebelah kiri gue memperbaiki rambut kemudian membalas, "lima menit sebelum Pak Rehan datang," jawabnya
Dahi gue sontak mengernyit. Pada saat menolehkan kepala gue baru sadar bahwa Pak Rehan sudah berada di ruangan. Mengeluarkan laptopnya dari tas dan menyambungkan melalui proyektor kelas.
"Gue nggak sadar," gumamku.
"Rencana Tere gimana? Tahapnya udah jauh belum?" Rara yang sebelah kiri Riana menanyakan tentang Tere.
Gue menghadap ke Rara dan Riana, "Sejauh ini gue lakuin sesuai perintah Tere. Soal baik apa tidak gue nggak bisa pastiin. Kan, Tere yang handle setelah gue."
"Muka Tere pagi tadi ceria terus ceritain apa yang direncanain. Sudah 80 persen hampir selesai katanya. Gue cuman bisa ngasih dukungan. Soal ketahuan apa nggak juga bukan tanggung jawab gue." Riana ikut menimpali membuat gue kian kalut memikirkan rencana bodoh itu.
"Gue kasihan sama Lo, Moara. Bukan nggak mendukung keputusan lo melangkah sejauh rencana Tere tapi resiko yang lo hadapin bakal jauh lebih gede dari ekspektasi perencanaan lo sama Tere. Kalau bisa gue pengen lo berhenti." Rara dan Riana menatap gue yang lagi dan lagi pikiran gue penuh akan rasa takut, khawatir, kecewa dan perasaan negatif lain.