Giathara Pramoedya. Seorang perempuan yang berasal dari keluarga sederhana. Dia telah lulus sebagai lulusan terbaik pada masa sekolah menengah atas. Tak hanya dia melainkan beberapa rekannya termasuk. Setelah lulus Gia hanya memikirkan how to get a job for her life. Gia tidak ingin menjadi beban bagi kedua orang tua. Tapi rencana tetaplah rencana dengan realita yang berbeda. Papa Gia mendaftarkan anaknya ke salah satu universitas tanpa sepengetahuan anaknya sendiri. Gia sampai terperanjak ketika Papanya memanggil dengan nada berbeda. Terselip nada haru.
Kini Gia menetap di salah satu kota terbaik di negara itu. Memilih tinggal sendiri dibekali berbagai materi. Papanya sering memberi nasihat layaknya orang dahulu ketika jauh dari anak. Menjalani aktivitas sebagai mahasiswa tentu menimbulkan rasa jenuh tiap kali pulang tanpa ada sambutan dari keluarga. Maka Gia memilih mengikuti organisasi luar kampus, membuat sesuatu yang menghasilkan pendapatan. Bukan Gia tak bersyukur mendapat kiriman uang tiap bulan, melainkan Gia tak memakai uang itu.
"Pukul berapa sekarang?"
Mahasiswa paling depan mengeluarkan suara. "Empat sore, Pak."
"Waktu saya sudah habis?"
Tampak seluruh mahasiswa mengangguk. Lantas dosen itu merapikan barang bawaannya lalu memasukkan ke dalam tas. Setelah menginstrupsi salam penutup perkuliahan, dosen itu keluar dari ruang kelas. Mahasiswa khususnya perempuan tampak lesu setelah punggung dosen tak terlihat, sementara mahasiswa lain bersemangat mengingat jam terakhir akan mereka habiskan dengan berbagai kegiatan berbeda.
Banyak hal simpang siur terkait kehadiran lelaki berusia 26 tahun-an yang tuhan ciptakan wajah penuh tegas dan aura wibawa yang kuat mampu meluluhkan perasaan para gadis. Tapi anehnya dosen berkameja biru navy itu telah memiliki posisi tinggi di kampus. Gia sempat bertanya pada teman kelasnya, bukan jawaban dari pertanyaan justru Gia mendapat sesuatu yang mengejutkan.
"Kau harus berhati-hati jika bertemu dengannya,"
"Kenapa aku?"
"Bukan cuman kau tetapi seluruh mahasiswa wajib tidak boleh berbicara dengannya lebih dari lima menit,"
Gia memikirkan alasan lain, "Itu kedengaran bodo-"
"Sstt, ikuti saja ucapanku. Kau mau kuliah sampai lulus, kan?"
"Semua mahasiswa punya tujuan itu"
Aneh. Sangat. Bukannya mematuhi peraturan mutlak itu justru mahasiswa khususnya perempuan memilih mendekati Pak Naron. Memberikan sekotak makan siang di meja milik Pak Naron, menawarkan tumpangan yang jelas-jelas dosen itu memiliki kendaraan pribadi, dan lebih parah Pak Naron tak pernah sekalipun melirik. Membuang sekotak makanan ke tong sampah. Gia tahu itu setelah percakapan sama Lava.
Diam-diam Gia mencari tau sesuatu. Bukan karena Gia memiliki perasaan yang sama seperti mahasiswa lain. Ia punya tujuan lain. Berhari-hari Gia mengamati dari jauh jika tak ada kelas. Memantau dari ruang Pak Oland selaku dosen penasehat akademiknya, untungnya Pak Oland menerima dan membiarkan Gia tanpa tau tujuan mahasiswinya tersebut. Bukannya mendapat petunjuk Gia malah mengambil kotak nasi yang terbuang lalu diberikan kepada pejuang pencari pundi kehidupan. Dibantu Lava kadang.
Selama kelas Pak Naron tidak ada yang berani menjawab setiap pertanyaan yang diajukan. Hanya beberapa mahasiswi pencari perhatian menjawab asal. Ingin menarik perhatian saja. Gia memerhatikan tak ada sesuatu yang terjadi setelah para mahasiswi mengajak ngobrol Pak Naron. Meskipun tak sampai lima menit karena Pak Naron langsung pergi begitu saja.
Penghujung perkuliahan Gia sudah menyelesaikan seluruh mata kuliah. Tinggal menunggu menyusun proposal. Judulnya telah diterima. Ia bisa melanjutkan menuju isi proposal skripsi. Tetapi tak ia lakukan karena pembagian dosen pembimbing belum diketahui. Terkadang saat judul telah diterima saat itu juga mahasiswa akhir mengetahui siapa dosen pembimbing, kata senior mereka.
