35

13 32 6
                                    

Ayesha berjalan menyusuri koridor rumah sakit. Ia baru dari kantin untuk membeli sarapan untuknya dan Lisa. Saat memasuki ruangan tempat ayahnya dirawat, Ayesha mendapati Lisa tengah menyuapi Arwin makan.

"Biar mbak yang suapin ayah, Lisa sarapan dulu." Ayesha menyerahkan kantung plastik berisikan nasi bungkus kepada Lisa, lalu Lisa memberikan bubur yang tadi ia pegang kepada kakaknya.

Kling.

Ayesha mengalihkan perhatiannya kepada ponsel yang terletak di atas nakas, tepat di sampingnya. Lalu meraih benda ipih tersebut untuk melihat siapa yang mengirimkannya chat via whatsApp.

Mondy

"Gue udah di apartemen, kabarin gue kalau lo mau balik ke sini, biar gue jemput."

Ayesha hanya membaca saja pesan yang dikirimkan oleh Mondy. Tadi, sekitar pukul lima pagi, Mondy pamit untuk kembali ke Jakarta, karena ia ada kelas siang hari ini. Dan barusan pria itu mengabarinya, dan menawarkan diri untuk menjemputnya saat akan kembali ke Jakarta. Padahal Ayesha tidak memintanya.

Kling!

Suara ponsel pertanda pesan masuk sekali lagi membuat Ayesha langsung menoleh ke arah benda pipih tersebut yang memang masih di beranda whatsapp. Ia melihat sebuah nomor tidak dikenal, mengirimkannya pesan.

+628xx-xxxx-xxxx

"Gimana? Udah terima surprise nya? Gue harap, bokap lo nggak mati ya. Soalnya gue lupa bilang sama orang-orang suruhan gue untuk nggak ngehabisin bokap lo sampai mampus."

Ayesha emosi setelah membaca pesan yang jelas pengirimnya adalah Raquel. Namun, ia tidak bisa melakukan apa-apa. Sekarang ini, ia seperti dibawah ancaman Raquel. Malas memikirkan itu terlebih dahulu, Ayesha memutuskan untuk melupakannya. Ia akan memikirkan masalah itu saat di Jakarta nanti. Kalau perlu, ia akan berbicara langsung dengan Raquel.

Ayesha lantas menyuapi ayahnya, sembari sesekali bercerita agar ayahnya merasa senang. Hingga akhirnya Ayesha tersadar, bahwa ia tidak melihat ibunya sejak semalam. Lantas, kemana wanita paruh baya itu pergi?

"Ibu kok nggak keliatan, Lis? Ibu kemana?" Ayesha menoleh ke arah Lisa yang saat itu makan di sofa.

Lisa menggeleng. "Ibu nggak mau ke rumah sakit, Mbak. Kemarin, waktu ayah dibawa warga ke rumah sakit, ibu nggak mau ikut."

Ayesha menghembuskan nafasnya. Ibunya ini sudah kelewatan. Bahkan suaminya sakit pun, tidak ada rasa pedulinya sama sekali. Harusnya, disaat seperti ini, Kintan sebagai seorang istri, ada di samping suami untuk merawatnya.

"Udah, nggak apa-apa. Ada kamu sama adikmu aja, ayah udah senang." Arwin yang melihat ekspresi kesalnya Ayesha, mencoba menenangkan gadis itu. Arwin mengelus pundak Ayesha lembut.

"Bukan perihal ada siapanya, Yah. Tapi seharusnya ibu ada di sini untuk ngerawat Ayah. Ini juga tanggung jawab ibu sebagai istri Ayah." Ayesha mencoba menyangkal. "Yesha nggak pernah masalah kalau ibu nggak peduli sama Yesha, tapi Yesha nggak terima kalau ibu abaikan keadaan Ayah."

"Ayah juga nggak apa-apa, Nak. Udah lah, sekarang ini, buat ayah, ada kamu dan adikmu aja, udah sangat cukup. Ayah nggak mau maksa ibumu untuk ada di sini."

"Ibu keterlaluan, Yah. Yesha nggak bisa biarin." Ayesha menggelengkan kepalanya. "Ayah sama Lisa ke Jakarta aja, ikut Yesha."

Arwin menggeleng, "Nggak usah, Nak. Ayah masih mau di sini. Ayah udah tua, ayah pengen ngabisin waktu Ayah di kampung halaman ayah."

Ayesha menghembuskan nafasnya berat. Ia juga tidak bisa memaksakan ayahnya untuk ikut dengannya. Namun, perihal ibunya yang bersikap seenaknya, membuat Ayesha merasa kesal. Pada akhirnya, Ayesha hanya bisa mengangguk saja, tanpa bisa menyangkal lagi. Ia hanya bisa menawarkan, sementara ayahnya yang punya keputusan.

RUMITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang