Sebuah cafe dengan ukuran yang tergolong besar kini berdiri kokoh di hadapan Ayesha. Cafe yang sangat amat banyak pengunjungnya malam ini, sampai-sampai kedua lantainya terlihat diisi penuh oleh para customer.
"Ini cafe mentari?" Ayesha masih terus memperhatikan cafe tersebut. Tangannya bergerak melepaskan sabuk pengaman.
Alfariel mengangguk, "Lo udah berapa lama sih, Sha, tinggal di Jakarta? Bisa-bisanya lo nggak tau cafe ini."
Ayesha menoleh ke arah Alfariel, heran dengan maksud dari ucapan pria tersebut, "Maksud lo?"
"Ini salah satu cafe yang ngetrend banget dari jaman gue SMP. Sampai sekarang masih menduduki peringkat pertama karena populer banget. Banyak orang nongki di sini karena tempatnya emang bagus. Gue yang waktu itu masih tinggal di Bogor juga bisa tau cafe ini, dan lo bisa-bisanya nggak tau cafe ini." Alfariel menggeleng-gelengkan kepalanya heran.
Ayesha menghembuskan nafasnya perlahan, "Nggak ada keharusan juga untuk gue tau cafe ini. Lagian tempat beginian nggak sesuai sama isi dompet gue." Ayesha mengedikkan bahunya sembari mencibir. "Gue jadi ragu si Mirza bakal traktir kita di tempat ini."
Alfariel terkekeh mendengar ucapan Ayesha di awal tadi. Gadis ini memang sangat jujur akan kehidupannya. Tidak berniat menutupi sama sekali.
"Mirza anak orang kaya, traktir kita puluhan kali di tempat ini juga nggak bakal ngebuat dia jadi miskin." Alfariel melepas sabuk pengaman lalu membuka pintu mobil, seakan lupa kalau dirinya juga bukan keturunan orang sembarangan, bahkan jauh lebih di atas Mirza. "Yuk?"
Ayesha diam sejenak, lalu mengangguk, "Bahkan gue nggak tau kalau ada cafe sebesar ini berdiri di tempat ini." Ayesha terkekeh pelan menertawakan dirinya sendiri.
Keduanya melangkah memasuki cafe. Di pintu utama mereka disambut hangat oleh dua pelayan cantik dengan senyuman hangat menyapa setiap pelanggan di cafe tersebut.
Alfariel sibuk mengutak-atik ponselnya, mengirimkan pesan singkat kepada Mirza untuk mengetahui keberadaan pria tersebut.
"Mirza dimana?" tanya Ayesha kepada Alfariel yang kini memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya.
"Balkon."
Ayesha mengangguk, lantas keduanya berjalan menaiki tangga dan menuju ke arah balkon yang tidak terlalu jauh. Dari sana, mereka dapat melihat Mirza yang tengah duduk seorang diri di salah satu kursi-meja yang tersedia.
Dari balkon, bisa terlihat dengan jelas hamparan kota Jakarta dengan banyaknya gedung-gedung pencakar langit yang berdiri kokoh. Lampu kerlap-kerlip yang terpasang di setiap sudut balkon menambah suasana nyaman. Pantas saja di sini ada banyak pengunjungnya.
"Lama amat lo berdua." Mirza menatap kesal ke arah Ayesha dan Alfariel yang baru saja tiba.
Sebelum menjawab, Ayesha dan Alfariel menarik bangku lalu mendudukinya.
"Pacaran dulu ya, makanya lama? Hampir sejam gue nunggu." Mirza melirik Ayesha dan Alfariel secara bergantian.
"Di jalan macet, Za." Alfariel menjawab. "Lagian kita juga baru selesai kerja."
Mirza manggut-manggut meskipun masih kesal. Kedua matanya kini menangkap sosok Ayesha yang tampak sibuk dengan ponselnya.
"Jadi lo udah terima kejutannya?" tanya Mirza kepada Ayesha, bermaksud menggoda wanita itu.
Ayesha melirik ke arah Mirza lalu mencibir, "Nggak ada kejutan apapun hari ini."
"Lah, pindahnya Alfa ke cafe kan, kejutan besar buat lo." Mirza mengerutkan keningnya heran.
KAMU SEDANG MEMBACA
RUMIT
Random|| Rumit- Ayesha, gadis sederhana yang hidupnya bagaikan labirin rumit yang dirancang oleh takdir. Sejak kecil, ia berjuang sendirian, melawan kerasnya kehidupan tanpa uluran tangan. Setiap langkahnya dipenuhi rintangan, seolah semesta ingin menguji...