38

23 44 2
                                    

"Sha, lo... mau jadi pacar gue?"

Alfariel memantapkan tujuannya meminta Ayesha ke taman memang untuk mengutarakan isi hatinya. Dan sekarang, Alfariel yakin untuk mengatakannya. Setelah ia mengucapkan sebait kalimat itu, tidak ada jawaban apa pun dari Ayesha.

"Dari dulu, gue belum ngomong gini secara serius, kan? Kali ini, gue beneran berharap lo terima gue sebagai pacar lo." Alfariel menyunggingkan senyumnya yang tidak pernah ia berikan kepada siapapun selain Ayesha dan keluarganya. "Gue janji, gue bakal bahagiain lo, Sha. Gue janji bakal lakuin apapun buat lo. Dan gue janji, gue nggak akan pernah-"

Plak!

Ucapan Alfariel terpaksa terhenti saat kepalanya menggeser ke kanan dengan kuat. Ya, Ayesha baru saja mendaratkan sebuah tamparan pada pipi kirinya. Cukup keras, bahkan sampai pipinya memerah dan menyisakan jejak telapak tangan Ayesha.

Alfariel tidak tau alasannya apa, tapi yang jelas, tamparan itu juga berhasil mengiris hatinya. Apa yang salah dengan kata-katanya?

Alfariel menoleh ke arah Ayesha, boneka yang ia pegang terjatuh ke atas kursi. Ia menatap Ayesha dalam, sementara Ayesha menatapnya penuh amarah yang ia tidak tau maksudnya apa.

"Kenapa, Sha?" Alfariel mendesis sangat pelan. Nyaris tidak bersuara. "Kenapa lo nampar gue?"

"Lo tanya kenapa?" Ayesha menatap tajam Alfariel. "Gue udah bilang berkali-kali sama lo, jangan pernah deketin gue lagi. Dan sekarang lo malah ngomong sesuatu yang bullshit kayak gini!"

"Bullshit, lo bilang?" Alfariel menatap Ayesha tak bercaya. Keningnya berkerut. "Perasaan gue ke lo, lo anggap bullshit? Harus gimana lagi gue bilang kalau gue beneran sayang sama lo, Sha?!" Alfariel meninggikan tensi bicaranya. Sudah tidak tahan dengan segala perlakuan Ayesha terhadapnya.

"Harus gimana juga gue bilang sama lo kalau gue benci sama lo, Al?!" Ayesha balas berteriak. Emosinya tidak terkontrol. "Gue nggak pernah suka sama lo, gue nggak pernah punya perasaan apa pun sama lo. Rasa gue buat lo, cuma sisa rasa benci tanpa ada rasa lainnya." perkataan Ayesha kali ini membuat Alfariel terdiam beberapa saat. "Jangan cuma bisa bilang Raquel nggak punya harga diri, karena faktanya lo sama dia nggak ada bedanya. Lo marah kan, Raquel ngejer lo terus, karena lo nggak suka sama dia? Gue juga sama, Al. Gue juga nggak suka lo deket-deket sama gue. Kalau lo merasa masih punya harga diri, jangan pernah lo deketin gue lagi!"

Ayesha beranjak dari duduknya, namun dengan cepat pergelangan tangannya ditahan oleh Alfariel.

"Lepasin, Al!"

"Kenapa lo sebenci ini sama gue sekarang? Tolong, Sha. Jawab pertanyaan gue kali ini... aja. Gue butuh jawaban lo." Alfariel tampak memohon. Wajahnya terlihat sendu dengan berbagai goresan luka yang menancap ulu hatinya.

"Lo mau tau jawabannya?" Ayesha menatap Alfariel semakin tajam. "Karena lo, keluarga gue kenapa-napa. Karena lo, bokap gue masuk rumah sakit. Karena lo, gue dipukul habis-habisan sama Raquel, dan karena lo juga, gue nyaris diperkosa sama bokap tiri gue!" Ayesha berteriak keras. "Masih belum puas lo, buat gue kesiksa, ha?! Lo mau gue sehancur apa lagi, Al?!" Ayesha terduduk lemas di atas kursi. Ia menangis sesunggukan dengan kepala yang menunduk.

Alfariel yang masih berdiri, terdiam pada pijakannya. Pikirannya melayang kemana-mana. Sebuah fakta mengejutkan baru saja ia dengarkan. Tidak lama, Alfariel menoleh ke arah Ayesha, lalu mengelus surai gadis itu. Tubuh Ayesha bergetar karena menangis. Alfariel duduk di sebelah Ayesha. Lalu menunduk, memikirkan apa yang sebenarnya sudah dan sedang terjadi.

"Bisa jelasin maksud lo apa?" Alfariel mendesis pelan. "Kaitannya sama gue apa? Gue salah apa di sini, Sha? Dan Raquel, maksud lo... Raquel yang pukulin lo?"

RUMITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang