36

22 42 0
                                    

Malam ini, langit tampak berduram durja. Tidak ada satu pun bintang yang terlihat, karena ditutupi oleh awan gelap yang perlahan mengeluarkan rintikan air. Seakan mengerti kalau sudah beberapa bulan ini, kemarau panjang. Dan malam ini, tampaknya langit akan membasahi bumi yang kering. Tanah-tanah pun tampak terpecah-pecah karena sudah lama tidak menyerap air.

Ayesha duduk di teras rumahnya seorang diri. Ia mengaduk teh hangat yang berada dalam cangkir di genggamannya. Tatapannya kosong. Sudah terlalu banyak beban pikiran dan masalah yang harus dipikul olehnya, sampai-sampai ia tidak tau harus menyelesaikan yang mana terlebih dahulu. Berulang kali terdengar Ayesha menghembuskan nafasnya berat. Mencoba menetralkan suasana hatinya yang jauh dari kata baik-baik saja.

"Nak..."

Ayesha menoleh, mendapati Ayahnya yang kini berdiri di bibir pintu.

"Ayah ngapain keluar? Di dalam aja istirahat, Yah." Ayesha mendesis pelan. "Lagian di luar dingin banget."

Arwin bergerak mendekat ke arah Ayesha, lalu duduk di kursi sebelah anaknya, yang dibatasi oleh meja bundar sebagai penengah. Arwin menatap putrinya cukup lama, dan Ayesha membalasnya dengan senyuman.

"Udah malam gini kok belum tidur?" tanya Arwin kepada anaknya.

"Yesha belum ngantuk, Yah. Masih pengen duduk di sini." Ayesha mendesis sembari dengan menyunggingkan senyuman lagi. "Luka-luka Ayah gimana? Masih ada yang sakit banget?" Ayesha mengalihkan obrolan. Lalu memperhatikan luka-luka yang mulai membaik pada tubuh sang Ayah.

"Udah lebih baik kok, nak. Nggak sesakit sebelumnya. Kan selama di rumah, Ayah rutin minum obat, trus juga balurin salab yang dikasih sama dokter."

Ayesha mengangguk. Memang kesembuhan Arwin mengalami perkembangan yang cukup bagus. Sudah satu minggu Arwin di rumah, melakukan perawatan mandiri. Dan itu cukup membuahkan hasil. Seminggu sudah di rumah, itu artinya seminggu pula Kintan sudah pergi dari rumah mereka. Dan mereka yakin, Kintan tidak akan kembali.

"Yah, lusa Yesha balik ke Jakarta. Tapi Yesha ragu mau ninggalin Ayah yang masih belum sehat." Ayesha mendesis pelan, sembari menatap teduh wajah sang Ayah yang semakin menua. "Tapi, Yesha juga harus sekolah. Yesha udah hampir tiga minggu nggak masuk. Masalahnya, ujian semester genap nggak sampai dua bulan lagi, Yah."

Arwin mengangguk. Ia sendiri tidak keberatan kalau Ayesha harus balik ke Jakarta. Karena bagaimanapun juga, Ayesha harus sekolah demi masa depannya. Dan Arwin, tidak mau kondisinya menjadi halangan untuk putrinya sekolah.

"Nggak apa-apa, nak. Lagian kan ada Lisa di sini yang temenin Ayah. Kamu balik aja ke Jakarta, sekolah yang bener, biar kamu bisa dapat beasiswa untuk kuliah."

Ayesha menghembuskan nafasnya perlahan, "Kalau aja bukan karena Lisa mau ujian juga, Yesha pasti udah ajak Ayah sama Lisa untuk ikut ke Jakarta."

Arwin tersenyum mendengar penuturan putrinya itu. Terlihat jelas kalau Ayesha sangat mengkhawatirakannya.

"Nanti, waktu Yesha libur semester, Yesha ke sini ya, jemput Ayah sama Lisa. Ayah sama Lisa tinggal di Jakarta aja sama Yesha. Lisa juga bisa pindah sekolah ke sana. Kalau Ayah ada dekat sama Yesha, Yesha bisa jagain Ayah. Yesha nggak perlu takut Ayah kenapa-napa. Ayah mau, ya?"

Arwin diam sejenak. Ia tampak berpikir. Memang di Bogor ia tidak memiliki saudara. Yang ia miliki sekarang hanya kedua putrinya, Ayesha dan Lisa. Hanya mereka yang menjadi sandaran dan alasan Arwin memilih hidup sampai sekarang.

"Iya nak, Ayah mau. Lagi pula, di sini nggak ada lagi Ibu mu. Ibu mu juga udah urus perceraian Ayah sama Ibu. Nanti, setelah kamu sama Lisa ujian, kita urus semuanya untuk pindah ke Jakarta." Arwin mendesis pelan. "Setelah Ayah pikir-pikir, nggak ada gunanya Ayah menghabiskan umur Ayah di kampung halaman, karena nggak sama anak-anak Ayah. Tapi kalau Ayah ke Jakarta, Ayah bisa hidup sama putri-putri Ayah."

RUMITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang