39

25 57 3
                                    

Ayesha menduduki kursinya yang kosong. Pagi ini, ia tidak perlu memberikan tatapan tajam untuk Alfariel agar pria itu pergi dari kelasnya, karena memang Alfariel tidak ada di sana. Saat masuk kelas tadi, ia hanya melihat Mirza yang duduk di bangkunya sembari memainkan ponsel.

Ada rasa aneh memang, saat mengetahui Alfariel tidak ada. Namun, ini memang keinginannya, kan? Dan sekarang, Alfariel benar-benar sudah melakukannya. Tidak perlu lagi ia berteriak-teriak menghabiskan tenaga untuk meminta pria itu berhenti mengganggunya.

Melihat Ayesha yang tengah melamun, membuat Mirza terkekeh pelan, "Nggak usah galau, Sha. Kan, lo yang minta Alfa untuk nggak ganggu lo lagi."

Ayesha menoleh ke arah Mirza, merasa tengah disindir oleh temannya itu, "Gue keliatan galau, emangnya?" Ayesha memutar bola matanya jengah. Lalu membuang muka. Selanjutnya ia memilih untuk memainkan ponselnya.

"Yakin lo, nggak galau?" Mirza masih berusaha menggoda Ayesha. "Harusnya lo lapor polisi, Sha. Dengan gitu, semua bakal aman."

Ayesha menoleh dengan kepala yang dimiringkan, "Alfa cerita sama lo?"

Mirza mengangguk, "Alfa cerita semuanya, termasuk pas lo nolak dia kemarin." Mirza memutar duduknya menghadap Ayesha. Kelas masih sepi, bisa digunakan untuk berbicara serius. "Gue tau lapor polisi mungkin bukan pilihan yang tepat, tapi seenggaknya setelah ini, Raquel nggak bisa ganggu lo lagi."

"Lo lupa, Raquel anak orang kaya? Dia bisa nebus untuk dibebasin, Za. Dan setelah bebas, Raquel bisa ngelakuin hal yang lebih parah lagi buat gue atau keluarga gue. Gue nggak mau kalau itu sampai kejadian."

Mirza diam sejenak, lalu mengangguk, "Definisi menyalahgunakan kekayaan. Gue yakin Raquel bakal dapatin karmanya."

Ayesha lantas melanjutkan memainkan ponselnya, meskipun pikirannya kemana-mana. Termasuk nama Alfariel yang menjelajahi otaknya. Mengapa jadi serba salah?

***

Hembusan angin berhasil membuat anak rambut seorang gadis beterbangan mengikuti arah angin. Suasana di taman belakang sekolah ini memang sangat sejuk. Banyak pepohonan rindang serta bunga yang berwarna-warni. Namun tetap saja, kantin menjadi tempat terfavorit bagi anak Holten.

Ayesha terkekeh saat melihat sebuah video lucu yang muncul di layar beranda instagramnya. Tangan kirinya digunakan untuk memegang ponsel, sementara tangan kanannya ia gunakan untuk memakan nasi yang ia letakkan di atas pahanya. Ayesha tengah duduk seorang diri di taman. Sekarang sedang jam istirahat, dan ia makan bekal sendiri yang ia bawa dari kontrakan.

"Keliatan banget miskinnya, sampai bawa bekal dari kontrakan."

Ayesha menoleh ke arah sumber suara, lalu didapati olehnya seorang siswi yang bernama Raquel. Orang yang sudah membuat Ayahnya terbaring lemah di atas brankar rumah sakit.

"Keadaan bokap lo, gimana? Udah mati, belum?" Raquel kini sudah berdiri di hadapan Ayesha yang masih duduk di kursi. Sebenarnya enggan menanggapi, namun mendengar perkataan Raquel membuat Ayesha tersulut emosi.

"Peduli banget lo sama bokap gue, sampai nanyain kabarnya." Ayesha mengedikkan bahunya. "Maksud lo bayar orang untuk mukulin bokap gue apa ya, Ra? Gue udah turutin semua kemauan lo. Gue udah jauhin Alfa, sesuai sama apa yang lo mau."

"Yakin lo, udah jauhin Alfa?" Raquel melipat kedua tangannya di depan dada. "Itu kan, menurut lo. Tapi dari yang gue liat, lo masih sering deket sama Alfa. Gue masih liat kalian ketemu di sekolah, gue masih liat Alfa setiap pagi dateng ke kelas lo, dan gue juga masih liat, hubungan dekat kalian sebagai partner kerja."

"Masalah pekerjaan nggak bisa diseret-seret, Ra. Bisnis gue sama Alfa tetap jalan, tapi kita nggak sedeket sebelumnya."

"Ya gue nggak peduli. Yang gue mau, lo jauhin Alfa, dan jangan pernah deketin Alfa lagi. Dan perlu lo tau, Alfa juga sempet marahin gue karena lo. Itu yang buat gue makin yakin untuk bayar orang buat mukulin bokap lo."

RUMITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang