40

26 49 0
                                    

Ayesha duduk bersandar di sebuah bangku. Matanya tertuju pada satu arah dengan pikiran kosong. Tangannya sibuk mengaduk milk shake yang mulai mencair. Di sekolah tadi, ia sudah mendengar dua berita yang cukup mengagetkannya. Tentang Alfariel yang berhenti bekerja di cafe Gilang, juga berhenti berbisnis dengannya. Menjadi dewasa sangat menguras tenaga. Belum lagi, ia sudah merasakan kerasnya hidup sejak ia kecil.

Masih menjadi pertanyaan besar untuknya, kenapa masalahnya tak pernah ada kata selesai. Kalau pun ada satu masalah yang tuntas, akan ditimpa dengan masalah lain yang jauh lebih berat. Mungkin sebagian orang akan mengatakan, Tuhan mempercayakan Ayesha dengan masalah-masalahnya, karena Tuhan tau Ayesha mampu melaluinya. Tapi, Ayesha masih merasa kurang dengan jawaban itu. Kalau bukan karena memikirkan Ayah dan Adiknya, sudah lama ia menyerah.

"Sha, gue ngerti perasaan lo." Nana yang duduk di hadapan Ayesha, membuka suara.

Sudah dua jam mereka duduk di Arion cafe. Ayesha menceritakan banyak hal kepada Nana. Mulai dari awal mula ia diculik, tentang siapa dalang dibalik penculikan itu, tentang keterlibatan sang ayah tiri dalam kasus tersebut, tentang bagaimana hubungannya dengan Alfariel sekarang, yang sangat memburuk. Tentang Alfariel yang berhenti bekerja di cafe Gilang, juga berhenti berbisnis dengannya. Bahkan Ayesha juga menceritakan tentang ibu tirinya yang sudah pergi meninggalkan keluarganya.

Ayesha memang sengaja mengajak Nana untuk bertemu, karena ia membutuhkan teman curhat. Ayesha tidak mempunyai teman lain selain Nana dan Mirza. Sebenarnya ia bisa saja curhat pada Mirza, namun yang ada pria itu malah akan menyudutkannya. Karena curhatannya itu mengenai Alfariel, sudah pasti Mirza akan lebih membela pria itu.

"Dalam kasus ini, gue nggak bisa nyalahin lo, dan gue juga nggak bisa nyalahin Alfa. Lo terdesak keadaan, dan Alfa terpaksa harus ngertiin keadaan lo. Yang buat gue nggak bisa nyalahin Alfa karena gue inget gimana perjuangan dia selama ini buat bisa dapetin lo. Ya lo bayangin aja, Alfa sampai ngorbanin pekerjaan dia sebagai editor di Gramedia Cinta, trus kerja sebagai pelayan demi bisa deket sama lo terus."

Ayesha mendengarkan perkataan Nana dengan serius, meskipun itu terkadang membuat dadanya semakin terasa sesak.

"Dan gue bisa ngerasain langsung gimana khawatirnya Alfa waktu lo diculik, Sha. Alfa beneran kalang kabut cariin lo ke sana sini. Ngehubungin siapa pun yang menurut dia bisa dihubungin. Alfa tulus banget, Sha, sayang sama lo. Dan sekarang, Alfa harus ngorbanin perasaannya gitu aja. Harus ngehapus semua rasa cintanya buat lo karena dipaksa keadaan. Gue yakin, Alfa juga ngalamin hal yang sulit, sama kayak lo."

"Gue bingung, Kak. Gue nggak mungkin milih Alfa dari pada bokap gue. Gue nggak punya siapa-siapa selain bokap gue. Dan gue pun, nggak ngerasa punya rasa khusus untuk Alfa. Gue anggap Alfa ya sekedar temen doang, nggak lebih." Ayesha mengedikkan bahunya.

"Yakin lo nggak ada rasa? Malah menurut gue sebenernya lo udah punya rasa yang sama buat Alfa, cuma lo belum sadar aja. Kalau bukan karena masalah ini, gue yakin lo sama Alfa sekarang makin nempel, malah mungkin udah jadian."

"Gue nggak mikir sampai ke situ, sih. Sekarang ini, yang penting gue bisa pastiin ayah sama adik gue di Bogor aman. Gue nggak mau ada yang jadi korban Raquel lagi. Perginya Alfa, nggak akan buat gue mati. Gue masih bisa hidup tanpa dia."

Nana menghembuskan nafasnya perlahan, lalu mengangguk, "Gue juga prihatin, dengan masalah lo yang sekarang, nyokap tiri lo malah pergi ninggalin kalian. Gue nggak bisa ngebayangin sih, kalau ada di posisi lo."

Ayesha tersenyum, lalu menunduk. Menikmati setiap rasa sakit yang semakin menjalar dalam tubuhnya.

"Pokonya kalau perlu apa-apa, atau lo mau cerita apa-apa, lo hubungin gue aja. Mungkin gue nggak bisa langsung datang waktu lo lagi butuh, tapi gue bakal usahain untuk tetap ada buat lo. Ntar kalau gue nggak sibuk di rumah, gue main ke cafe lo, ya."

RUMITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang