37

33 42 0
                                    

Ayesha memegangi tengkuknya, sembari memijitnya. Terasa cukup pegal dan sedikit nyeri. Ia melangkah memasuki gerbang sekolah, lalu berjalan menyusuri koridor sekolah. Menuju ke arah kelasnya yang terletak di lantai dua. Mendadak kelasnya itu terasa jauh untuk ditempuh, mungkin karena ia masih merasa lemas dan kelelahan.

Ayesha tiba di Jakarta semalam, sekitar jam sebelas malam. Karena memang ia berangkat dari Bogor sudah jam delapan malam. Tidak dapat dipungkiri, istirahatnya masih sangat kurang, dan alhasil tubuhnya pegal-pegal. Mau izin tidak masuk sehari lagi, ia enggan melakukannya. Karena sudah terlalu lama tidak mengikuti pelajaran. Ia pun sudah ketinggalan banyak materi.

Saat Ayesha berdiri di ambang pintu kelas, ia melihat Alfariel dan Mirza yang duduk bersebelahan. Seperti biasa, Alfariel selalu menempati kursi duduknya. Sebelum mereka menyadari kehadiran Ayesha, tampak jelas keduanya tengah mengobrol serius. Dan saat mereka menyadari Ayesha datang, keduanya terdiam kaget.

"Yesha?" Alfariel dan Mirza sama-sama mendesis dengan suara pelan.

Ayesha melangkah masuk ke dalam, lalu berdiri di samping Alfariel. Ia menatap datar pria itu, namun dengan kondisi muka yang mengisyaratkan agar pria itu bangkit dari tempat duduknya.

Alfariel lantas berdiri, lalu menempati kursi di sebelah kiri Ayesha, sementara Mirza di sebelah kanan Ayesha.

"Lo kok nggak ngabarin gue, Sha?" Mirza angkat suara. "Gue nggak tau apa-apa kalau lo balik ke Jakarta. Kalau lo bilang, kan gue bisa jemput."

"Lo juga nggak ngabarin gue." kali ini Alfariel yang bersuara. "Kenapa, Sha?"

"Kalau Mirza aja nggak gue kabarin, apa lagi lo." Ayesha enggan menoleh, lalu ia meraih ranselnya dan mengeluarkan sebuah buku. "Gue pinjam catatan hari ini, Za. Mau catat." Ayesha beralih pada Mirza.

Mirza lantas mengeluarkan buku catatannya untuk mata pelajaran pertama, lalu memberikannya pada Ayesha, "Nanti gue antar ke kontrakan lo catatan selama tiga minggu ini."

Ayesha mengangguk saja, selanjutnya gadis itu memutuskan untuk mencatat materi yang tertinggal. Tidak menanggapi Alfariel dan Mirza yang terus memperhatikannya.

"Lo balik sama siapa?" tanya Mirza kepada Ayesha. "Ojek?"

"Mondy." jawaban singkat Ayesha berhasil membuat Alfariel dan Mirza terlonjak kaget. Terlebih lagi Alfariel yang telinganya langsung memanas mendengar Ayesha menyebutkan nama pria itu.

"Kalau lo bisa ngabarin Mondy untuk jemput lo, kenapa lo nggak bisa ngabarin gue untuk sekedar tau kalau lo mau balik ke Jakarta?" Alfariel memperhatikan Ayesha serius.

"Pertanyaan gue masih sama, emangnya lo siapa?" Ayesha balas menatap Alfariel. Sangat datar. "Apa yang buat gue harus ngasih tau lo?"

"Kalau gitu, apa yang buat lo harus ngasi tau Mondy?" Alfariel membalas.

"Emangnya, gue ada bilang kalau gue ngabarin Mondy?"

"Kalau lo nggak ngabarin Mondy, kenapa bisa tuh cowok yang anter lo ke Jakarta?"

"Itu bukan urusan lo, Al. Gue nggak ada waktu untuk berantem sama lo. Mending lo keluar aja. Ngeliat muka lo cuma buat gue makin muak." Ayesha menatap Alfariel sinis, lalu kembali melanjutkan menulis.

Alfariel menghembuskan nafasnya perlahan. Ia menatap Ayesha teduh, meskipun tidak berbalas. Sudah tidak terhitung berapa banyak goresan luka yang diterima olehnya karena masih mempertahankan rasa cintanya pada Ayesha. Namun, setitik kebencin tidak pernah muncul sedikit pun dalam benaknya. Alfariel merasa, Ayesha layak diperjuangkan. Alfariel yakin, ada sesuatu yang membuat Ayesha membencinya. Bukan karena Ayesha yang memang membencinya dengan sengaja.

RUMITTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang