Ayesha melangkah menyusuri trotoar menuju ke arah sekolahnya. Karena jarak yang tidak terlalu jauh, Ayesha memutuskan untuk berjalan kaki. Hitung-hitung berolahraga sekaligus irit biaya. Lagi pula ia sudah terbiasa seperti ini.
SMA Holten, salah satu SMA impian sejuta umat. Katanya, hanya orang-orang berkasta yang mampu bersekolah di sini. Hanya orang kalangan atas yang mampu membiayai anak mereka untuk bersekolah di sini. Namun Ayesha, gadis dengan latar belakang keluarga yang sederhana, bahkan sekarang tidak memiliki siapa-siapa, ia bisa dan mampu bersekolah di sini. Ia masuk bukan menggunakan uang, tapi menggunakan otak.
Otak yang cerdas membuat Ayesha mendapatkan beasiswa penuh di sekolah ini. Bahkan sekarang Ayesha juga tengah mengejar beasiswa lagi agar ia bisa masuk perguruan tinggi impiannya secara gratis. Ayesha berusaha betul agar ia mendapatkan beasiswa impiannya itu. Karena dari banyaknya siswa, hanya tiga orang yang akan mendapatkannya. Ayesha berharap, ia salah satunya.
Berjalan menyusuri koridor sekolah menuju ke kelasnya yang berada di lantai dua. Ayesha sekarang duduk di bangku kelas sebelas. Tidak memiliki banyak teman dekat seperti orang lain yang ia lihat kebanyakan. Di sekolah, Ayesha lebih sering menghabiskan waktunya di perpustakaan untuk menimba ilmu.
"Pagi, Sha?" Memasuki kelas, hal pertama yang ia tangkap adalah wajah tampan milik seorang pria bernama Mirza. Satu-satunya orang yang mau berteman dengan Ayesha di sekolah.
"Pagi, Za." Ayesha balas menyapa.
"Keliatan seger bener lo pagi ini." Mirza mengikuti langkah Ayesha yang kini menempati kursi duduknya. Kebetulan Mirza duduk tepat di bangku sebelah Ayesha.
"Gue emang selalu seger, Za." Ayesha tersenyum tipis menanggapi ucapan temannya itu. "Tugas lo udah selesai?" tanya Ayesha mengingatkan. Biasanya, Mirza selalu lupa mengerjakan tugas.
"Udah dong, kan lo yang ingetin semalam." Mirza tertawa kecil sembari memperlihatkan sederet gigi putihnya.
Ayesha hanya mengedikkan bahunya sebagai tanggapan.
Ayesha sediri bingung kenapa Mirza mau berteman dengannya. Sementara Mirza padahal anak dari keluarga terpandang. Ayahnya adalah seorang pengusaha kaya raya dengan omset ratusan juta. Mirza bilang, kalau uang bukan segalanya. Ia mau berteman dengan Ayesha karena gadis itu baik dan pintar. Setidaknya Mirza bisa belajar banyak tentang kehidupan dari Ayesha.
***
Menjelang jam istirahat, Ayesha langsung menuju ke kantin sekolah untuk bekerja. Namun sayang, hari ini Ayesha harus mendengar kabar buruk. Mulai besok, Bu Nurul sudah tidak berjualan lagi di kantin sekolahnya. Ia harus balik ke kampung karena anaknya sakit keras. Tugas Bu Nurul akan digantikan oleh orang baru. Yang membuat Ayesha kecewa, orang yang menggantikan Bu Nurul, membawa pelayan sendiri. Itu artinya, Ayesha sudah tidak dapat bekerja di kantin sekolah lagi.
"Jadi kedepannya lo gimana, Sha?" tanya Mirza ikutan bingung.
Setelah usai beres-beres, Ayesha memutuskan untuk duduk di bangku kantin dengan Mirza. Harusnya ini sudah jam masuk kelas, namun karena kelas Ayesha tidak ada guru yang mengajar atau sedang jam kosong, jadinya ia tidak langsung kembali ke kelasnya.
"Gue juga nggak tau, Za." Ayesha menghembuskan nafas perlahan. "Pemasukan gue cuma dari kantin ini. Dan sekarang gue udah nggak kerja di sini lagi. Nggak ada cara lain selain cari pekerjaan baru." Ayesha menatap Mirza sejenak. Terlihat jelas kalau Mirza juga mengkhawatirkannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
RUMIT
Random|| Rumit- Ayesha, gadis sederhana yang hidupnya bagaikan labirin rumit yang dirancang oleh takdir. Sejak kecil, ia berjuang sendirian, melawan kerasnya kehidupan tanpa uluran tangan. Setiap langkahnya dipenuhi rintangan, seolah semesta ingin menguji...