Part 27 - Sepucuk Surat

33 9 0
                                    

Semenjak kejadian itu, aku sedikit kesulitan mengajaknya berbicara. Bukan dia yang tak mau, tetapi aku merasa kikuk dengannya. Ia tetap menyapa bahkan mengajakku untuk sarapan bersama.

"Selamat pagi nona."

Sapaan pagi dari Mery kini sudah terdengar akrab di telingaku. Tidak hanya sapaannya, namun segala kegiatan pagi di istana Kerajaan Timur, aku telah hafal dengannya.

"Selamat pagi Mery."

"Mari, Yang Mulia Noir sudah menunggu nona di ruang makan."

"Ya, ayo kita ke sana."

Salah satu rutinitasnya adalah sarapan bersama Noir di meja makan istana Kerajaan Timur.

"Pagi, Arabela" sapa Noir yang telah berada di sana lebih awal dengan sebuah kertas di tangannya.

Biasanya ia akan memintaku untuk duduk di sebelahnya. Tapi hari ini ia tak memintaku. Kedua matanya masih fokus dengan kertas itu. Namun..

"Apa yang terjadi padamu?"

Penampilannya saat ini sungguh berbahaya. Keringatnya yang mengalir hingga membuat pakaiannya kuyup, lebih nampak menggoda daripada minuman yang ada di sebelah tangannya.

"Ah. Aku baru saja selesai berlatih dengan Trisha."

Benjamin sepertinya mengerti apa yang ku pikrkan. Ia memberikan sebuah handuk beruluran kecil untuknya. Tetapi, itu justru semakin membuatnya terlihat menggoda. Apakah ia tidak sadar telah memancing tatapan menggelikan dari para pelayan perempuan di sana.

"Kau lebih baik segera pergi mandi!"

"Sebentar lagi-"

"Sekarang, Noir" kataku yang mulai kesal ketika melihatnya menolak.

"Kenapa kau tiba-tiba... Ah!"

Ia memberikan handuknya kembali kepada Benjamin seraya berkata "Segera siapkan untukku mandi."

"Baik, Yang Mulia."

"Satu lagi. Selama aku menghabiskan makananku, tinggalkan kami berdua" perintah Noir kepada para pelayannya.

Mendengar perintah Noir mereka kemudian segera bergegas pergi untuk menjalankan tugasnya. Pelayan perempuan yang menggelikan juga ikut pergi, meski dengan tatapan kecewanya.

Menyisakan aku dan Noir di ruangan itu.

"Bagaimana, apa kau puas?" tanyanya sembari tersenyum miring padaku.

"Apa."

"Kau tidak suka berbagi pemandangan ini dengan para pelayan perempuan itu, bukan."

Bagaimana bisa ia mengetahuinya.

"Hahaha.. sangat mudah melihat raut wajahmu, Arabela."

"Kau salah. Memang aku geli melihat para pelayan perempuan itu, tetapi bukan karena tak ingin berbagi pemandangan. Tatapan mereka hanya menjijikan untukku, membuatku risih."

"Oh ya?"

"Noir, berhentilah berhalusinasi."

"Padahal aku tidak masalah dengannya."

"Buang jauh-jauh pikiranmu itu. Sejak awal kau bukanlah pemandangan yang harus dibagi-bagi."

Dia seolah-olah menganggap dirinya seperti objek yang indah untuk dipandang.

Brak!

Pintu ruang makan kami tiba-tiba terbuka, memperlihatkan Benjamin yang nampak tergesa-gesa.

"Bukankah kalimatku sudah jelas."

Arabela Descendants [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang