30. MENYERAH?

228 13 0
                                    

Sudah siap menjelajah ruang friendzone?

"Semoga punggung kecilmu masih tetap kuat dan kokoh walaupun selalu dihantam kerikil tajam berkali-kali."

«selamat membaca»

Ruangan yang biasanya sunyi kini terdengar ramai oleh amarah dari kedua orang dewasa yang baru saja menginjakkan kaki di rumah bernuansa tradisional itu. Belum sempat meneguk satu tetes air putih, mereka langsung di desak rasa khawatir karena mendengar sebuah kabar, yang tentunya itu tidak baik bagi yang bersangkutan.

Berdiri dengan kepala tertunduk, gadis berambut sebahu itu tidak berani bersitatap dengan kedua orangtuanya.

"Kenapa Naya sampai bisa jatuh ke dalam kolam? Kata Naya kamu ada di sana waktu itu? Dan kamu lebih milih seekor kucing?"

"Om, ra-" perkataan Alvino terputus.

"Jawab Kanara!" sentak Fajar dengan amarah meluap-luap.

Kedua kaki Kanara bergetar seiring dengan tangannya yang terkepal kuat, seolah menjadi sebuah pegangan yang membantu tubuhnya untuk tetap berdiri.

Cowok dengan jaket denim itu menatap kasian ke arah Kanara, sepupunya itu sudah cukup kuat jika harus berhadapan dengan situasi seperti ini, karena sedari kecil sudah dibiasakan. Tak heran, Kanara bisa bertahan sampai sekarang.

"Mama udah titipin Naya sama kamu, ra. Tapi kenapa kamu tetep gak bisa jagain saudara kamu?" Rina menatap dengan pandangan seperti biasanya ke arah putrinya itu, seolah sudah terbiasa dengan perlakuan putri semata wayangnya yang selalu membuat kecewa.

Kanara diam, selalu diam. Hingga suara Fajar kembali membuat Kanara mendongakkan kepalanya.

"Naya pernah punya salah sama kamu, ra? Kamu mau nyoba balas dendam?" Fajar bertanya dengan mata penuh sirat amarah, padahal yang kini dihadapannya, yang kini tengah ditatapnya, adalah buah hatinya sendiri.

Kanara benar-benar tidak menyangka bahwa kalimat seperti itu terucap dari bibir ayahnya, sungguh sejahat inikah dirinya dimata laki-laki paruh baya itu?

"Hidup Biru bagi kamu lebih berarti daripada hidup Kanaya?"

"Om!"

"Diam vino," tekan Fajar.

Alvino berjalan maju, tak ingin masalah ini diperpanjang lagi, dan tak tahan dengan sikap Kanara yang selalu diam dan tak mau membantah, seolah-olah membenarkannya. Alvino tidak terima, Kanara sudah dianggapnya sebagai adik sendiri, sama seperti Kanaya.

"Rara pasti ngga sengaja om. Rara mungkin gak tahu kalo Naya mau tenggelam, Rara mungkin cuman fokus sama Biru karena Biru yang pertama kali jatuh, tapi kalau Rara tau Naya jatuh juga dia pasti bakal bantu Naya, om."

"Itu sama saja dia lebih milih Biru dibandingkan dengan Naya." Fajar tetap kukuh dengan pernyataannya.

"Om udah, aku udah ngga apa-apa kok." Kanaya yang sedari tadi diam menyimak, membuka suara.

Fajar menoleh ke arah Kanaya yang duduk di kursi dengan sebuah alat pereda suhu panas di dahinya. Lantas, beralih menatap Kanara lagi.

"Minta maaf sama Naya," ucap Fajar.

"Kamu gak denger, Ra?! Minta maaf sama Kanaya sekarang!"

Kanara sontak menganggukkan kepalanya cepat, sudah lama Kanara tidak dibentak oleh ayahnya, terakhir kali juga dengan perkara yang sama.

"Maafin gue, Nay..."


&

Kaki jenjang milik seorang gadis dengan pundak yang masih bergetar kecil itu terus membawanya ke dalam sebuah kamar penuh lukisan yang sudah diporakporandakan oleh si pemilik rumah.

Manik matanya menatap nanar ke arah kacaunya keindahan alam yang sengaja ia ambil dan ditaruh di atas kanvas putih, kini kanvas itu terbelah menjadi kepingan-kepingan kecil. Apa salahnya?

Kaki jenjang itu terus berjalan, sampai di depan sebuah pintu kecil yang terletak di samping lemari baju, diputarnya knop pintu itu pelan. Lantas, berjalan masuk.

Dapat dirasakan dinginnya lantai saat pertama kali telapak kakinya berpijak. Kemudian, terus berjalan menuju sebuah pipa air yang digantungkan ke atas. Tubuhnya terduduk tepat dibawah shower, tangannya terulur menggapai sebuah alat untuk menghidupkan shower tersebut.

Guyuran derasnya air dingin terus dirasakan tubuh Kanara selama hampir satu jam, tak mempedulikan tubuhnya nanti akan terlihat seperti mayat hidup jika terus menerus berada di sini. Udara dingin malam hari seolah tidak bisa dirasakan Kanara lagi, tubuhnya mati rasa, namun manik matanya tetap terbuka, menatap menerawang ke arah dinding kaca dihadapannya dengan sendu.

Suara langkah kaki berjalan mendekati bilik, setelah sebelumnya orang tersebut mengetuk pintu beberapa kali dan memanggilnya namanya.

"RA!!"

Alvino berlari menghampiri Kanara saat melihat keadaan gadis itu yang sangat menyedihkan. Cowok itu tidak pernah menduga Kanara akan senekat ini, tapi mau bagaimana lagi, jika dirinya berada diposisi Kanara, sudah jauh-jauh hari ia lenyap dari bumi.

"Ra..." Menyentuh kedua pundak Kanara dan segera memeluk gadis itu kuat saat melihat wajah Kanara sudah pucat pasi dengan tubuh gemetar kedinginan.

"Ra lo-"

"U-udah gak kuat k-kak..." lirih Kanara dengan suara terbata.

Mendengar itu, Alvino tak bisa menahan air matanya lagi. "Yang kuat ra...gue ada disini."

Alvino segera membantu Kanara berdiri, dan merangkul pundak gadis itu setelah mematikan air shower. Kemudian, menyelimuti tubuh Kanara dengan handuk dan membantu Kanara berjalan keluar kamar mandi.

"Bentar, gue ambilin handuk lagi." Alvino mendudukkan Kanara dipinggiran ranjang, dan segera mengambil handuk lagi di kamar mandi.

Kanara menatap kakak sepupunya yang kalang kabut, ia terkekeh pelan. "Kenapa gue masih lo perhatiin? Padahal gue udah buat adik lo hampir mati, kak?" tanya Kanara setelah Alvino berada dihadapannya.

"Gak usah ngomong kaya gitu lagi, lo udah gue anggap adik sendiri sama kaya naya, gue gak pernah beda-bedain lo, ra." Alvino mengusap rambut basah Kanara dengan handuk, mengeringkannya. "Dan, gue percaya sama lo, ra."

Kanara menatap Alvino dengan pandangan sendu. "Harusnya lo jadi kakak gue aja, kak. Tapi tetep aja, gue bakal dibanding-bandingin lagi."

Alvino tersenyum hangat, dan berkata,
"manusia punya kekurangan dan kelebihannya masing-masing, sama kaya gue dan lo. Lo gak punya kelebihan gue, gue juga gak punya kelebihan lo, ra. Gue gak bisa ngelukis, Lo bisa. Gue gak bisa sabar kaya lo, gue gak sekuat lo. Lo hebat ra bisa bertahan. Kalo gue ada diposisi lo, udah jauh-jauh hari gue-"

Kanara menggeleng. "Lo juga kuat, kak! Lo lebih kuat dari gue malahan. Gue lemah karena biarin tubuh gue kesakitan."

"Jangan diulangi lagi, ra. Gue khawatir banget sama lo tadi, janji sama gue ya? Lo bakal terus ada disini, di samping gue." Alvino memegang pundak Kanara dengan kedua tangannya. "Gue juga bakal selalu ada disisi lo, ra. Jangan pernah ngerasa sendiri, jangan sesekali berpikir buat menyerah. Gue percaya sama lo, jangan buat gue kecewa dengan lakuin hal ini lagi."

Kanara mengangguk patuh. Cowok di hadapannya ini ingin sekali gadis itu jadikan seorang ayah, bahagia pasti hidupnya.

\To be continued\

25 Juni 2022

KANARA [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang