🧢🧢🧢🧢
"Kalau ada nominasi orang tua brengsek, kayaknya lo paling pantes buat dapet nominasi itu."
Terbayang ucapan Harun tempo hari membuat mood Angga mengangkat besi dengan beban tertentu guna melatih otot lengan itu, hilang dalam sekejap. Niatnya ingin berolahraga pagi benar-benar lenyap tak bersisa dan kini harus digantikan dengan pikirannya yang berkecamuk serta perasaan yang tak beraturan.
Pria beranak satu itu melangkah menuju tempat tasnya berada. Di pinggiran ruangan fitness, Angga mengistirahatkan tubuhnya dengan minum air hangat dari botol yang dia bawa. Setelah beberapa teguk, Angga menutup botolnya. Dia mengambil handuk kecil lalu mengelap keringat di sekitar leher.
"Perihal gue yang nyuruh lo ke RSJ, itu gak bercanda. Lo kesusahan ngatur emosi dan butuh penanganan dari ahli. Jadi ... kalau lo mau ke sana, gue siap anter lo."
"Anjing! Dikira gue gila sampe harus ke RSJ segala?!" umpat Angga. Dia begitu kesal dan marah saat Harun berkata demikian, seolah-olah dia memiliki penyakit kejiwaan. Saat itu egonya sangat terluka, Angga merasa bahwa emosinya memuncak hingga berniat menghabisi Harun malam itu juga. Tapi dia harus menahan diri untuk tidak membalas pukulan Harun. Meski begitu dia tidak ingin baku hantam sesi kedua terjadi yang bisa saja mengakibatkan kesalahan fatal untuk dirinya.
"Yang ke RSJ belum tentu gila juga kali."
Angga menoleh, mendapati seorang pria yang mengambil duduk di sebelahnya. Adi namanya. Angga menaikkan alis, kepalanya agak miring ke kiri. Atensi dari iris hitam kelam itu jatuh pada Adi yang tengah mengikat tali sepatu. "Rumah Sakit Jiwa, diperuntukkan untuk orang-orang yang sakit mental. Orang-orang yang ke sana udah pasti gila."
"Terlalu kasar untuk nyebut mereka dengan sebutan gila. Mereka emang sakit, tapi bukan berarti gila. Kalau di dunia ini ada banyak orang yang pemikirannya sama kayak lo mengenai RSJ, gue yakin orang di luaran sana yang punya kesulitan masalah mental, pasti gak mau konsultasi soalnya pada takut dicap gila."
Angga menaikkan sudut bibirnya samar. Sejenak dia melupakan botol minumnya yang belum ditutup.
Agaknya Angga tampak tertarik dengan ucapan temannya yang satu ini. Pria itu memutar tubuhnya, agak menyerong. Terlihat jelas bahwa Angga sekarang menaruh minat pada Adi. "Maksud lo yang konsultasi ke sana, bukan berarti karena dia gila, kan?"
Adi menggeleng. Dia selesai dengan tali sepatunya. "Enggak. Mental itu sama kayak fisik, dia juga bisa sakit. Kalau luka fisik bisa diliat dan tau dimana titik lukanya, kalau mental itu enggak semudah itu. Eum ... tapi bisa aja, sih, penyakit mental yang dipicu oleh kelainan fisik." Adi melanjutkan, "Tapi bukan itu poinnya. Sakit mental ya diobatinnya di Rumah Sakit juga tapi yang khusus buat kejiwaan."
Angga bertanya, "Menurut lo kalau orang yang kasar sama perempuan dan anak-anak, termasuk sakit jiwa?"
"Bisa jadi. Tapi ada banyak faktor yang bisa mempengaruhi seseorang melakukan kekerasan. Misal faktor ekonomi dan faktor lingkungan. Nah, kedua faktor itu bisa memicu seseorang buat ngelakuin hal nekat. Yang dua ini termasuk faktor diluar tubuh, tapi kalau gak ada solusi juga bisa ngaruh ke fisik atau jiwa." Adi menerangkan. "Tapi belum bisa dikatakan, dua hal tersebut masuk ke dalam sakit jiwa."
Pria itu kembali berucap, "Ada pula yang disebabkan penyakit kejiwaan, contohnya penyakit Skizofrenia yang punya waham dan halusinasi, yang bilamana tidak segera disembuhkan maka itu bisa berdampak buruk bagi diri sendiri. Bahkan bisa menyebabkan tindakan kriminal."
Angga mengerti. "Tapi kalau punya temperamen buruk dan susah ngatur emosi ... termasuk gila? Maksudnya ... apa itu juga termasuk sakit jiwa?"
Kini giliran Adi yang mengangkat alis. Dia melihat wajah Angga yang kini tampak serius. "Lo lagi curhat?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Azkiel's Appa
General FictionStart 25 Februari 2020 - Repbulished 02.10.2023 NOTE ! "krn sebelumnya tidak ada prolog, trs aku tambahin prolog jd mempengaruhi viewer sm vote ya per-chapter ya. jd ngacak gitu ehehe. tp ga berpengaruh sih, yg penting alurnya tetap rapih." ❝Besar n...